SELAMAT DATANG (WELCOM IN MY BLOG)

Senin, 06 Mei 2013

dapatkah survei dipercaya?

Burhanuddin Muhtadi
Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI)

Survei dan demokrasi memiliki hubungan simbiosis mutualistik. Survei opini publik sulit dilakukan pada rezim otokratik. Sistem otoriter tidak memungkinkan suara publik terpublikasi, karena membahayakan rezim otoritarian. Sebaliknya, rezim politik demokratis sangat membutuhkan survei dalam kerangka revisi kebijakan publik yang semakin dekat dengan aspirasi publik. Parameter responsiveness (tanggap atas aspirasi) dan partisipasi warga yang merupakan pondasi demokrasi sangat mungkin tersalurkan melalui mekanisme sistematik bernama survei.
Tak heran jika pada masa Orba, survei tak mendapatkan persemaian subur. Ada dua alasan. Pertama, survei dianggap rezim bagian dari insubordinasi, bahkan subversi terhadap kekuasaan. Kasus penangkapan surveyor PT. Suburi pada tahun 1972 di Semarang misalnya, menjadi contoh tragis. Wording dalam kuisoner menempatkan Soeharto pada posisi nomor tiga dari sepuluh nama pemimpin lainnya telah menyulut kemarahan inteljen (Tempo, 17 Juni 1972).
Alasan kedua yang pasti membatalkan keinginan melakukan survei adalah semua pemilu yang terselenggara pada masa rezim Orba termasuk kategori non-demokratis. Asas partisipasi dilikuidasi dengan mobilisasi, parsialitas birokrasi, represi aparat, dan kemenangan Golkar sebagai the ruling party sudah pasti bisa ditebak, bahkan sebelum pemilu dimulai.
Wajar jika “demam” survei mulai terjadi pada masa reformasi, terutama Pemilu 1999. Ada sekitar lima lembaga yang mengadakan survei perilaku pemilih pada saat itu, yakni Resource Productivity Center (RPC), International Foundation for Election Systems (IFES), LP3ES, Litbang Harian Kompas, dan KPP-Lab Politik UI. Menariknya, kemenangan PDIP dalam pemilu 1999 dengan kecenderungan pada variabel sociological theory ternyata sudah diprediksi melalui survei yang memakai metodologi penelitian yang sahih.
Seolah melanjutkan keberhasilan di 1999, survei kembali marak menjelang pemilu 2004, meski “pemain” masih sedikit. Selain kelima lembaga yang sudah beroperasi pada pemilu 1999, muncullah Lembaga Survei Indonesia (LSI), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM), Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS), Danareksa Research Institute (DRI) dll. Di Pemilu 2004, baik pada pemilihan legislatif, pilpres putaran pertama dan kedua, LSI tampil sebagai “pemenang” terbukti akurasi dan presisinya yang lebih baik dibanding lembaga-lembaga lain.
Akurasi dan Presisi
Pemilu 2009 malah ditandai oleh menjamurnya lembaga-lembaga survei. Tak kurang 22 lembaga yang tergabung di Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI). Belum lagi yang tergabung di Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI). Pada pemilu legislatif 2009, kembali prediksi survei LSI yang mengunggulkan Partai Demokrat sejak survei bulan Desember 2008, terbukti kebenarannya. Saat itu, LSI dituding “melacurkan” diri karena pada saat bersamaan banyak lembaga survei yang memprediksi PDIP atau Golkar sebagai pemenang. Memang, dari sisi presisi, survei terakhir LSI yang dirilis menjelang Pileg agak kurang baik. Padahal prediksi survei-survei LSI sebelumnya kisaran Demokrat di antara 19-22%.
Mengapa banyak lembaga survei yang meleset pada Pileg 2009 kemarin? Ukuran gagal atau tidaknya sebuah survei, menurut Daniel Dhakidae (1999), ditentukan oleh dua hal, akurasi dan presisi. Inilah “dua kalimah syahadat” bagi peneliti yang bergiat di lembaga survei. Akurasi adalah sejauh mana survei secara benar memprediksi pemenang pemilu dan sekaligus menentukan komposisi peringkat pemenang pemilu, entah itu partai maupun capres dan cawapres. Jadi, akurasi yang dimaksud di sini berkaitan dengan benar-tidaknya ramalan mereka (correctness) pemenang pemilu dan urutannya.
Adapun pengertian presisi terkait dengan ketepatan (exactness). Ini karena survei bukan hanya dituntut akurat dalam memprediksi pemenang pemilu, tapi juga harus tepat dalam meramal perolehan suara partai atau kandidat capres dan cawapres. Makin dekat ramalan perolehan suara partai-partai secara keseluruhan dengan Mean of Absolute Deviation, dibandingkan dengan hasil perolehan partai yang sebenarnya, maka tingkat presisinya semakin bagus.
Sampling Bermasalah
Selain itu, banyak lembaga survei yang merilis hasilnya akhir-akhir ini yang “menghina” kecerdasan publik. Mereka lupa hakikat dasar survei. Pengertian survei adalah upaya untuk mengetahui opini publik tanpa harus menanyakan kepada semua orang (seperti halnya pemilu atau referendum) (Gallup dalam Judith M. Tanur (ed), 1985). Opini publik tersebut diracik dari sejumlah orang yang menjadi sampel untuk merepresentasikan populasi. Melalui teknik ilmiah yang didasarkan pada metode statistik modern, sampel yang diambil tadi bisa mencerminkan opini seluruh masyarakat.
Survei yang dilakukan dengan memakai metodologi yang sahih dipastikan dapat menggali opini dan preferensi publik dengan akurasi yang bisa diandalkan dan biaya yang dapat ditekan. Melalui teknik penarikan random sampling yang benar, maka kita tak perlu bertanya pada semua anggota populasi, sehingga biaya dapat dipermurah.
Kesahihan survei, pertama dapat diukur dari seberapa representatif sampel yang diambil bisa mewakili populasi. Survei via SMS yang rajin digelar TV-TV, meski diikuti ratusan ribu pengirim SMS, hasilnya sama sekali tidak menggambarkan realitas. Survei melalui telepon juga tak kalah menyesatkan karena populasi pemilik telepon di Indonesia kurang dari 15 persen. Bila sampelnya didasarkan pada pemilik telepon berarti ada 85 persen masyarakat Indonesia yang dianulir keberpeluangan-nya untuk terpilih sebagai sampel.
Jika prinsip keberpeluangan ini diabaikan, maka sampel tersebut tak bisa disebut mewakili populasi. Diperlukan sampling frame yang menjadi acuan dalam penarikan sampel yang didasarkan pada up-date karakteristik populasi yang standar seperti hasil sensus BPS. Untuk mengecek kesesuaian profil responden yang menjadi sampel dengan karakteristik populasi dapat dilihat dengan membandingkan prosentase keduanya dalam beberapa aspek seperti sebaran demografi (desa-kota, Jawa-non Jawa), gender, pendidikan, agama, dan lain-lain.
Demikianlah, masyarakat harus kritis dengan melihat rekam jejak sebuah lembaga survei. Publik juga harus mencermati metodologi, validasi sample, dan wording kuisonernya apakah bersifat probing atau mengarahkan jawaban responden ke arah tertentu atau tidak. Dengan ikhtiar bersama media-massa, kita sebenarnya bisa dengan mudah membedakan lembaga survei “loyang” dan “emas.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar