Politik Luar Negeri dan Revolusi Indonesia
Kuliah di hadapan Pendidikan Kader Revolusi Angkatan Dwikora yang diselenggarakan oleh Pengurus Besar Front Nasional di Jakarta
D.N. Aidit (1964)
Sumber:
Politik Luar Negeri dan Revolusi Indonesia , Yayasan Pembaruan, Jakarta, 1965.
Diedit dan dimuat oleh Ted Sprague (5 April, 2013)
PENDAHULUAN
Mata pelajaran “Membangun Dunia Kembali” diberikan oleh 3 orang,
yaitu Sdr. Ali Sastroamijoyo S. H., Ibu Haji Aminah Hidayat, dan saya
sendiri. Bagian yang akan saya uraikan ini berjudul
“Politik Luar Negeri dan Revolusi Indonesia”. Judulnya
sendiri sudah mengharuskan supaya penguraian tentang masalah politik
luar negeri dihubungkan dengan Revolusi Indonesia, tentang fungsi dan
tugasnya untuk mengabdi kepada kepentingan dan tujuan Revolusi
Indonesia. Ini memang tidak bisa lain. Adalah satu keharusan yang
fundamental untuk selalu mengabdikan setiap aktivitas kita, apapun
ragamnya dan di bidang manapun juga, kepada kepentingan dan tujuan
Revolusi Indonesia.
Kepentingan dan tujuan Revolusi Indonesia tidak hanya terbatas pada
kepentingan dan tujuan nasional daripada revolusi kemerdekaan
Indonesia, tetapi juga pada kepentingan dan tujuan internasional, yaitu
membangun dunia kembali, dunia baru yang bebas dari
l’exploitation de l’homme pas l’homme,
yaitu dunia sosialis. Ini disebabkan karena Indonesia tidak bisa
terlepas dari perkembangan masyarakat dunia pada umumnya, juga
sebagaimana sering dikatakan bahwa Revolusi Indonesia merupakan bagian
dari revolusi dunia. Dengan demikian, tugas kuliah ini ialah untuk
menjelaskan teori dan praktik politik luar negeri sebagaimana ia harus
dilakukan agar dapat mengabdi sepenuhnya kepada kepentingan dan tujuan
ini, sekarang maupun di masa-masa yang akan datang.
Kita tidak dapat membangun dunia kembali, jika kita tidak mengenal
keadaan dan perkembangan masyarakat dunia dewasa ini dan tempat yang
diduduki oleh Indonesia di dalamnya. Oleh karena itu, terlebih dulu
saya akan memberikan pandangan global tentang situasi internasional
dewasa ini.
Metode yang akan saya pakai dalam pembahasan ini ialah metode Marxis
yaitu metode daripada ilmu yang sudah lama ditegaskan oleh Bung Karno
sebagai satu-satunya ilmu yang kompeten buat memecahkan soal-soal
sejarah, politik, dan kemasyarakatan.
KEADAAN DUNIA SEKARANG
A. KONTRADIKSI-KONTRADIKSI DASAR DI DUNIA DEWASA INI
Dalam
Tavip ditegaskan bahwa “Asia Tenggara adalah pusat telengnya kontradiksi-kontradiksi dunia (halaman 31). Jadi
Tavip menyebut
tentang adanya kontradiksi-kontradiksi dunia. Memang kita tidak bisa
memahami perkembangan masyarakat dunia, apalagi membangun dunia
kembali, jika kita tidak memahami kontradiksi-kontradiksi dunia,
sebagaimana halnya kita tidak bisa memahami hal-ihwal atau materi
apabila kita tidak memahami kontradiksi-kontradiksi yang selamanya ada
dalam setiap hal-ihawal atau materi itu.
Misalnya, untuk mengetahui keadaan Indonesia sekarang, kita mesti
mengetahui tentang kontradiksi-kontradiksi yang ada di Indonesia
sekarang seperti kontradiksi antara nasion Indonesia dengan
imperialisme, kontradiksi antara kaum tani dengan feodalisme,
kontradiksi antara buruh dengan kapital, dan sebagainya. Dalam diri
kita sendiri pun terdapat kontradiksi-kontradiksi dan setiap hari kita
menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi tersebut, misalnya kontradiksi
antara pikiran kolot dengan pikiran progresif, kontradiksi antara malas
dengan aktif, kontradiksi antara baik dengan jelek. Dan kalau kita
terus berusaha setiap hari menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi dalam
diri kita dengan memenangkan segi-segi yang positif dan mengalahkan
segi-segi yang negatif, maka kita akan terus maju menjadi seorang
revolusioner yang baik. Sesungguhnya tugas kaum revolusioner tidaklah
lain daripada menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi baik dalam
masyarakat maupun dalam pikiran.
Jadi, apakah kontradiksi-kontradiksi di dunia dewasa ini? Ada banyak
kontradiksi di dunia. Tetapi dari yang banyak itu ada 4
kontradiksi dasar. Dengan kontradiksi dasar dimaksudkan, kontradiksi-kontradiksi
yang memberi ciri kepada
dunia kita dewasa ini. Kontradiksi-kontradiksi lain yang terdapat di
dunia kita sekarang, misalnya kontradiksi antara negara-negara NEFO,
termasuk antara negara-negara Sosialis, adalah kontradiksi-kontradiksi
tidak dasar, adalah bukan kontradiksi-kontradiksi yang memberi ciri pada dunia kita sekarang.
Empat kontradiksi dasar itu ialah:
- Kontradiksi antara Sosialisme dengan imperialisme (kapitalisme monopoli).
- Kontradiksi antara proletariat dengan borjuasi di negeri-negeri kapitalis.
- Kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan imperialis.
- Kontradiksi antara imperialis dengan imperialis.
Dua kontradiksi yang terdahulu, yaitu kontradiksi antara Sosialisme
dengan imperialisme dan antara proletariat dengan borjuasi (kaum
kapitalis) di negeri-negeri kapitalis, adalah kontradiksi-kontradiksi
yang penyelesaiannya bertujuan menciptakan masyarakat sosialis di
dunia. Sedang penyelesaian kontradiksi nomor 3, yaitu kontradiksi
antara nasion-nasion tertindas dengan imperialis, bertujuan melahirkan
negara-negara merdeka seperti yang terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika
Latin. Bila kontradiksi ini diselesaikan dengan konsekuen, maka
perspektifnya ialah masyarakat Sosialis pula, tetapi bila
setengah-setengah (tidak konsekuen) maka hanya akan melahirkan
negara-negara semacam “Malaysia” atau negara-negara yang menempuh jalan
kapitalisme dan tidak dapat melepaskan ketergantungannya pada
imperialisme.
Kontradiksi antara Sosialisme dengan imperialisme, antara proletariat
dengan borjuasi di negeri-negeri kapitalis, dan antara nasion-nasion
tertindas dengan imperialisme menampakkan diri dalam perjuangan raksasa
untuk menggulingkan kekuasaan imperialis dan sistem kapitalis di muka
bumi ini. Perjuangan-perjuangan ini merupakan konfrontasi antara NEFO
dan OLDEFO.
Kontradiksi antara kaum imperialis tidak akan dapat diselesaikan oleh
kaum imperialis sendiri. Kontradiksi ini baru dapat diselesaikan jika
kaum buruh dan semua Rakyat pekerja di semua negeri imperialis bangkit
dan berhasil menggulingkan kekuasaan imperialis. Sudah dua kali perang
dunia dicetuskan oleh kaum imperialis, tetapi kontradiksi di kalangan
mereka hingga kini masih ada dan akan tetap tak terselesaikan oleh
mereka sendiri.
Antara keempat-empat kontradiksi terdapat saling-hubungan dan saling-pengaruh. Maka itu,
untuk mengubah ciri dunia dewasa ini atau
untuk membangun dunia kembali, kita harus berjuang dengan gigih dan memecahkan keempat kontradiksi dasar tersebut.
Tetapi, kita tidak cukup hanya mengenal keempat kontradiksi-dasar.
Kita tidak hanya harus pandai membedakan kontradiksi dasar dari
kontradiksi-kontradiksi lainnya yang tidak dasar (misalnya kontradiksi
antara negara-negara NEFO, termasuk antara negara-negara Sosialis, dan
lain-lain), tetapi kita harus juga pandai memilih dari kontradiksi
dasar ini, mana yang merupakan
kontradiksi pokok, yaitu kunci dari kontradiksi-kontradiksi dasar tersebut. Atau dapat juga dikatakan bahwa
kontradiksi pokok adalah kontradiksi yang menentukan keadaan dan perkembangan kontradiksi-kontradiksi lainnya.
Dari pergolakan perjuangan revolusioner di seluruh dunia dewasa ini,
dapat kita ketahui bahwa dari 4 kontradiksi dasar tersebut, ada 2
kontradiksi pokok, yaitu:
- Kontradiksi antara Sosialisme dengan imperialisme, dan
- Kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan imperialisme.
Dewasa ini dalam skala dunia, kedua kontradiksi-pokok itu merupakan 2 arus perkasa melawan imperialisme, yang bersatu menjadi
satu arus besar Revolusi Dunia.
Adalah wajar bahwa kontradiksi antara Sosialisme dengan imperialisme
merupakan kontradiksi pokok karena imperialisme yang dikepalai oleh
Amerika Serikat tetap bertujuan untuk menghancurkan Sosialisme. AS
tidak bisa merajai dunia selama ada negeri Sosialis seperti Uni Soviet
dan RRC yang mempunyai senjata nuklir. Jadi, walaupun ada sementara
orang mau mengaburkan kontradiksi itu, namun tetap kontradiksi antara
Sosialisme dengan imperialisme adalah kontradiksi pokok.
Kontradiksi pokok yang lain adalah kontradiksi antara nasion-nasion
tertindas dengan imperialisme. Kontradiksi ini terang dan jelas
terdapat di Asia, Afrika, dan Amerika Latin.
Di daerah AAA, dewasa ini terdapat situasi revolusioner yang terus
menanjak dan mematang sebagaimana dibuktikan oleh tingkat perjuangan
Rakyat revolusioner yang menggelora dengan hebatnya di daerah ini. Mata
rantai imperialisme yang paling lemah terdapat di Benua AAA. Oleh
karena itu, di tempat di mana imperialisme lemah ini harus menjadi
titik berat perjuangan mengganyang imperialisme. Bahkan, dewasa ini
bentuk konfrontasi yang tertinggi, yaitu perjuangan bersenjata, terdapat
di negeri-negeri AAA. Hal ini tidak hanya dibuktikan oleh perjuangan
bersenjata Rakyat Vietnam Selatan, ataupun oleh Rakyat Konggo dan
Venezuela, tetapi juga oleh perjuangan Rakyat Indonesia sendiri,
misalnya perjuangan untuk membebaskan Irian Barat di masa lalu dan
sekarang perjuangan mengganyang “Malaysia” dengan melatih
barisan-barisan sukarelawan. Rakyat Indonesia belum melepaskan senjata
dari tangannya, malahan masih memegangnya dengan kuat-kuat.
Perjuangan Rakyat AAA sekarang ini benar-benar telah menggoncangkan
dan mengobrak-abrik imperialisme yang dikepalai oleh imperialisme AS.
Oleh karena itu, kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan
imperialisme, bukan hanya merupakan kontradiksi pokok di dunia
sekarang, tetapi adalah
kontradiksi terpokok, yang memimpin
dan menentukan keadaan dan perkembangan dunia dewasa ini. Jadi, Asia,
Afrika, dan Amerika Latin adalah daerah kontradiksi terpokok dunia.
Inilah dasar teorinya dari apa yang sering kita nyatakan bahwa
Asia, Afrika, dan Amerika Latin adalah daerah poros NEFO.
Karena itu adalah kewajiban kaum revolusioner di seluruh dunia
sekarang untuk menyokong perjuangan Rakyat AAA untuk memenangkan
revolusi-revolusi di negeri-negeri lain dan revolusi dunia.
Dengan menyatakan bahwa kontradiksi yang terpokok dewasa ini adalah
kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan imperialisme, saya
tidak menyangkal kemungkinan terjadinya mutasi-mutasi. Karena memang
baik kontradiksi dasar maupun kontradiksi pokok, demikian pula
kontradiksi yang terpokok itu bisa satu sama lain berganti-ganti,
mengalami mutasi-mutasi. Misalnya bila terjadi perang di antara
negeri-negeri imperialis seperti halnya perang dunia ke-I dan ke-II,
maka berarti pada ketika itu kontradiksi antara imperialisme dengan
imperialisme adalah yang terpokok. Demikian pula kontradiksi antara
Sosialisme dengan imperialisme bisa memuncak hingga menimbulkan
peperangan, dan jika itu terjadi maka kontradiksi yang terpokok adalah
antara Sosialisme dan imperialisme.
Dalam hubungan dengan perbedaan-perbedaan pendapat yang dewasa ini
terdapat di kalangan Gerakan Komunis Internasional, dapat saja
diterangkan bahwa salah satu masalah yang dipersoalkan dalam Gerakan
Komunis Internasional adalah dalam menetapkan yang manakah kontradiksi
terpokok di dunia dewasa ini. PKI dan Partai-Partai Komunis di Asia
pada umumnya berpendirian bahwa kontradiksi antara nasion-nasion
tertindas dengan imperialisme itulah yang merupakan kontradiksi
terpokok. Partai-Partai Komunis di luar Asia juga ada yang sependapat
dengan Partai-Partai Komunis di Asia.Tetapi sebagian lagi dari Partai-Partai Komunis berpendapat bahwa
kontradiksi yang terpokok adalah antara Sosialisme dengan imperialisme.
Dengan demikian semua kontradiksi lainnya harus disubordinasikan
kepada kepentingan penyelesaian kontradiksi ini. Karena penyelesaian
kontradiksi ini diusahakan terutama lewat kompetisi di bidang ekonomi,
maka, demi lancarnya pembangunan ekonomi di negeri-negeri Sosialis, di
atas segala-galanya perdamaian harus dipertahankan, di atas
segala-galanya harus “koeksistensi secara damai”. Kalau kita dalami
lebih jauh analisis demikian itu, maka ini berarti bahwa nasion-nasion
tertindas harus membatasi diri dalam mengganyang imperialisme dan
kolonialisme, perjuangan Rakyat-Rakyat melawan imperialisme dan
kolonialisme harus tunduk kepada kepentingan pembangunan Sosialisme di
beberapa negeri Sosialis, tunduk kepada politik “kompetisi di bidang
ekonomi” dan politik “koeksistensi secara damai”.
Ada lagi Partai Komunis yang berpendapat bahwa kontradiksi terpokok
adalah antara proletariat dengan borjuasi di negeri-negeri kapitalis,
karena katanya, proletariat di negeri-negeri kapitalislah yang langsung
memukul imperialisme. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Misalnya
saja, perkembangan kapitalis monopoli di Jerman Barat jauh lebih
menonjol jika dibandingkan dengan perkembangan gerakan buruh di negeri
itu. Gerakan buruh di Italia dan Perancis memang penting artinya,
tetapi belum memberikan pukulan yang mematikan kepada imperialisme.
Gerakan buruh di negeri-negeri Eropa Barat dan di Amerika Utara pada
umumnya sedang dihinggapi penyakit-penyakit reformisme dan
revisionisme. Gerakan demikian itu tidak merupakan gerakan revolusioner
yang tujuan pokoknya menjebol imperialisme dan membangun Sosialisme.
Kita akan sangat berterima kasih kepada kaum buruh di negeri-negeri
kapitalis,
seandainya benar-benar pukulan-pukulan yang mereka
berikan sampai bisa menggoyangkan pilar-pilar imperialisme di
negerinya, karena bila demikan pasti akan sangat mempermudah perjuangan
kita di AAA. Tapi sekarang kenyataannya tidak demikian.
Pilar-pilar imperialisme sedang digoyangkan oleh Rakyat-Rakyat AAA.
Nanti akan datang masanya kaum buruh di negeri-negeri kapitalis
menumbangkan pilar-pilar itu. Oleh karena itu, kaum buruh di
negeri-negeri kapitalis harus solider dengan perjuangan Rakyat AAA
dalam menggoyangkan pilar-pilar yang nanti akan ditumbangkannya itu.Jadi, kenyataannya sekarang ialah bahwa kontradiksi atau konfrontasi
yang terhebat terdapat di daerah AAA, yaitu kontradiksi antara
nasion-nasion tertindas melawan imperialisme. Pukulan-pukulan terhebat
terhadap alamat imperialisme dilancarkan oleh Rakyat-Rakyat AAA. Jadi,
kalau saya mengatakan kontradiksi terpokok itu ialah antara
nasion-nasion tertindas dengan imperialisme, ini bukanlah karena
pertimbangan-pertimbangan yang mengandung unsur rasialisme atau
regionalisme, tetapi karena memang demikianlah kenyataannya. Juga tidak
berarti bahwa kita mengisolasi diri. Dan akan keliru sekali bila kita
tidak memperhitungkan kontradiksi-kontradiksi lainnya, karena semua
kontradiksi itu saling pengaruh mempengaruhi satu sama lain,
saling-hubungan satu sama lain sesuai dengan hukum dialektika. Hal ini
dapat dilihat dengan terang, misalnya ketika kontradiksi di kalangan
imperialis memuncak hingga pecah Perang Dunia I, maka imperialisme
secara keseluruhan menjadi lemah. Keadaan ini mendorong maju perjuangan
kemerdekaan bangsa-bangsa di Asia umumnya, sedangkan proletariat di
Rusia berhasil menggulingkan pemerintah Tsar dan kemudian menggulingkan
pemerintah borjuis serta melahirkan negara Sosialis pertama di dunia.
Oleh karenanya, kita sangat mementingkan solidaritas NEFO.
B. AAA POROS NEFO
Asia, Afrika, dan Amerika Latin selama berabad-abad merupakan
wilayah-wilayah mahaluas tempat kaum imperialis menjalankan penghisapan
biadab, tempat merampok kekayaan-kekayaan alam yang melimpah ruah,
tempat memeras keringat tenaga-tenaga kerja setempat habis-habisan.
Rakyat yang berdiam di benua-benua ini hidup miskin dan sengsara. Oleh
karena itu tidak mengherankan, bahwa kaum imperialis berusaha dengan
sekuat tenaga untuk tetap bercokol di ketiga benua ini demi kelangsungan
hidup mereka yang ingin terus mendominasi dunia dan yang ingin supaya
Rakyat-Rakyat di seluruh dunia tunduk dan mengabdi pada
kepentingan-kepentingan jahat mereka. Tetapi Rakyat Asia-Afrika-Amerika
Latin bukanlah “bangsa-budak” untuk selama-lamanya.
Dalam konfrontasi antara NEFO dengan OLDEFO, yaitu kekuatan-kekuatan
tata tertib lama yang didasarkan pada penjajahan dan penghisapan,
konfrontasi mana yang dewasa ini masih berlangsung dengan hebatnya,
Rakyat AAA mengambil tempat yang paling depan. Pergolakan Rakyat di
tiga benua ini mengambil bentuk dan skala yang demikian runcing dan
luasnya sehingga tepatlah jika dikatakan bahwa di daerah-daerah ini
terdapat situasi revolusioner yang terus menanjak dan makin mematang.
Pergolakan Rakyat di tiga benua ini sedemikian hebatnya sehingga krisis
dan keruntuhan sistem kolonialisme makin menjadi dalam dan membikin
imperialisme makin sekarat.
Di Asia, misalnya di
Jepang terdapat gerakan massa Rakyat
yang perkasa, yang meliputi seluruh negeri dalam melawan kaum imperialis
AS dan kaum monopolis Jepang yang berdaya upaya untuk membikin Jepang
sebagai negara embel-embel imperialis AS, sebagai negara di mana
fasisme dan militerisme tetap terpelihara.Rakyat Jepang bangkit berlawan dalam satu front yang luas yang mereka
galang dari kekuatan-kekuatan cinta kemerdekaan dan perdamaian. Mereka
menjalankan aksi-aksi yang besar melawan manipulasi-manipulasi AS
beserta pemerintah reaksioner Jepang untuk menjadikan Jepang negeri
pangkalan-pangkalan nuklir AS. Dengan penuh keberanian dan semangat
serta daya juang yang tinggi sekali, tanpa menghiraukan
tindakan-tindakan represif alat-alat negara neo-fasis Jepang yang telah
kita kenal sendiri kebiadabannya, mereka mengadakan
demonstrasi-demonstrasi yang patriotik untuk menuntut penarikan kembali
pasukan-pasukan AS dari kepulauan Ogasawara dan Okinawa. Dengan penuh
kepahlawanan mereka menentang digunakannya lapangan-lapangan terbang
Jepang sebagai pangkalan pesawat-pesawat terbang pengangkut
senjata-senjata nuklir AS. Mereka memprotes digunakannya
pelabuhan-pelabuhan Jepang sebagai pangkalan-pangkalan kapal-kapal selam
atom “Polaris” dari AS yang sekarang menjelajahi samudra-samudra dunia
untuk setiap waktu siap meluncurkan roket nuklirnya guna
“membinasakan” negeri-negeri Sosialis. Di samping semuanya ini, kaum
buruh Jepang yang penuh militansi terus menjalankan aksi-aksi raksasa
mereka melawan penindasan kapital monopoli untuk kehidupan yang layak
dan taraf hidup yang baik.
Gerakan Rakyat Jepang telah merebut rasa hormat dan simpati serta
setia kawan dari setiap orang yang sedikit saja mempunyai rasa
kemerdekaan dan patriotisme, telah mendapat dukungan yang kuat dan luas
dari segenap kekuatan kemerdekaan dan perdamaian di dunia.
Di bawah penindasan dan teror yang keras dari rezim Pak Jung Hui, itu boneka AS,
Rakyat Korea Selatan juga
tidak mau ketinggalan dari Rakyat-Rakyat lainnya di dunia dalam
mengganyang imperialisme AS. Gerakan demokratis melawan dominasi
imperialisme AS di negeri mereka dan melawan perundingan yang dilakukan
oleh rezim boneka ini dengan kaum militeris Jepang mengenai “kerja
sama” di bidang ekonomi, kebudayaan, dan militer makin hari makin
bertambah kuat. Sampai kini ternyata bahwa perundingan-perundingan yang
sudah berlangsung lebih dari satu tahun lamanya itu tidak mencapai
hasil, berkat perlawanan yang gigih dari Rakyat Korea Selatan dan juga
Rakyat Jepang. Rakyat Korea Selatan memahami betul bahwa kembalinya
kekuasaan kaum militeris Jepang ke Korea Selatan lewat
persetujuan-persetujuan yang sedang dirundingkan itu akan berarti
penindasan dobel bagi mereka, yaitu penindasan oleh kaum imperialis AS
beserta rezim bonekanya dan penindasan oleh kaum militeris Jepang yang
buas yang sangat mereka kenal sebagaimana juga kita pernah mengenalnya.
Badai perjuangan bersenjata dan revolusi telah berhembus di negeri-negeri Asia lainnya seperti di
Vietnam Selatan dan
Laos. Negeri kerajaan
Kamboja pun
bangkit melawan intervensi dan agresi AS terhadapnya. Proyek
neokolonial “Malaysia” dari imperialis Inggris yang disokong dengan
kuatnya oleh imperialis AS sedang hangat-hangatnya diganyang oleh
Rakyat dan pemerintah
Republik Indonesia. Perlawanan Rakyat-Rakyat
Malaya dan
Singapura bertambah lama bertambah kuat, perjuangan bersenjata di
Kalimantan Utara makin
berkembang. Tengku Abdulrahman, si boneka imperialis, pasti tidak akan
bisa lama menari menurut irama seruling imperialis.
Di negeri-negeri lainnya di Asia seperti di
Srilanka, Burma, Pakistan, Afganistan, dll, semangat
kemerdekaan dan anti-imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme
yang dipancarkan oleh Konferensi Bandung tetap menyala. Api Dasasila
Bandung dan api Lima Prinsip Koeksistensi Damai yang militan, yang
berbeda jauh seperti antara bumi dan langit dengan prinsip-prinsip
koeksistensi damai yang bersemangat kapitulasi dan yang dipropagandakan
oleh India, Yugoslavia, dan sebangsanya, makin lama makin membara. Api
ini tidak bisa dimatikan oleh setan imperialis manapun, atau oleh
tiupan revisionis manapun.
Di
Afrika telah tumbuh satu kebangkitan daripada Rakyat yang
tiada taranya dalam sejarah perjuangan Rakyat-Rakyat Afrika. Taufan
revolusi sedang melanda Afrika, satu benua dengan penduduknya yang
berjumlah 263 juta (angka 1962). Satu benua kaya raya yang menghasilkan
tembaga dan timah putih masing-masing 1/5 produksi dunia, ¼ produksi
dunia untuk mangaan, lebih dari separuh produksi dunia untuk emas, 80 %
produksi dunia untuk kobalt, dan 98 % untuk intan. Ya, Afrika
senantiasa merupakan daerah eksploitasi yang terkaya dan tak
terhabiskan bagi kaum kapitalis monopoli. Tetapi Afrika sekarang sedang
berontak melawan penindasan dan eksploitasi ini. Afrika sekarang bukan
lagi merupakan mangsa yang empuk bagi kaum imperialis. Rakyat Afrika
sekarang sedang bangkit melakukan perjuangan dengan bermacam jalan
untuk merebut kemerdekaan dan demokrasi.
Taufan perjuangan Rakyat Afrika untuk kemerdekaan dan demokrasi
bertepatan dengan ditemukannya deposit-deposit yang luas,
deposit-deposit uranium yang dibutuhkan sekali oleh kaum penindas guna
membikin bom-bom atom mereka. Perjuangan revolusioner Rakyat Afrika
untuk kemerdekaan dan demokrasi timbul pada saat sedang dilaksanakan
proyek-proyek baru yang luas untuk menarik kekayaan-kekayaan serta
bahan-bahan strategis keluar Afrika, di saat logam-logam yang begitu
penting dan vital seperti krom, tembaga, dan seng sedang dikumpulkan
untuk ditimbun dalam gudang persediaan imperialis dalam jumlah yang
makin besar. Perjuangan Rakyat Afrika ini muncul pada saat persaingan
antar-imperialis dari abad ke-19 telah diganti dengan
persaingan-persaingan baru, persaingan antara negara-negara imperialis
yang lama kontra yang baru, yang datang dari seberang Atlantik.
Perjuangan Rakyat-Rakyat Afrika bukan perjuangan yang mudah,
sungguhpun kubu kemerdekaan dan perdamaian serta kubu sosialis telah
tumbuh makin kuat sesudah Perang Dunia II. Pertempuran-pertempuran
besar sedang dilakukan dan akan makin banyak, pertempuran-pertempuran
dalam mana 3 pihak merupakan pihak-pihak pesertanya, yaitu 1) Rakyat
Afrika, 2) negara-negara kolonial lama dari Eropa Barat yang dikepalai
oleh Inggris dan yang mempertahankan apa yang mereka bisa pertahankan,
dan 3) imperialis Amerika Serikat yang muncul dalam usaha untuk merebut
kekayaan-kekayaan Afrika. Gambar dari perjuangan melawan imperialisme,
kolonialisme, dan neo-kolonialisme ini adalah warna-warni.
Di
Kongo, bekas jajahan Belgia, penerus-penerus setia dari
almarhum Patrice Lumumba sedang mengangkat senjata terhadap kaum
imperialis. Kongo yang telah mencapai kemerdekaan di bawah pimpinan
patriotik almarhum Patrice Lumumba sekarang menjadi mangsa
neo-kolonialisme Amerika Serikat. Usaha-usaha AS untuk menundukkan
Kongo lewat PBB dan manipulasi-manipulasi serta intrik-intrik lainnya
telah sedemikian jauh dan kurang ajarnya sehingga Tsombe, pembunuh
Lumumba dan agen dari dua imperialis –Belgia dan AS— telah diangkat
menjadi perdana menteri Kongo. Adakah ironi yang lebih mencolok
daripada ini? Tetapi Rakyat Kongo tidak berdiam diri dan sedang
meneruskan perjuangan yang telah diretas oleh Lumumba itu.
Pasukan-pasukan Rakyat bersenjata di bawah pimpinan Front Pembebasan
Nasional Kongo dewasa ini sudah mencapai kemenangan-kemenangan dan
daerah-daerah bebas yang telah mereka rebut makin lama makin meluas.
Perjuangan bersenjata inilah yang merupakan arus pokok di Kongo maupun
di Afrika pada umumnya sekarang ini. Betapa Tsombe dianggap sebagai
sampah masyarakat Kongo dan budak-belian modern dari kaum imperialis AS
dibuktikan oleh fakta dalam bulan Oktober ini di mana dia ditolak oleh
KTT nonblok di Kairo untuk menghadiri konferensi ini. Perjuangan
revolusioner Rakyat Kongo makin menghebat dan simpati serta setia kawan
yang diperolehnya dari dunia kemerdekaan dan kemajuan makin lama makin
besar.
Lebih dari 30 buah negeri Afrika telah mencapai kemerdekaannya berkat
desakan dan perjuangan Rakyat, sekalipun ukuran kemerdekaan
negara-negara itu berbeda-beda. Namun demikian, Dasasila Bandung dan
deklarasi-deklarasi serta resolusi-resolusi berbagai konferensi
internasional daripada organisasi-organisasi Rakyat maupun
pemerintah-pemerintah yang anti-imperialis dan anti-kolonial, telah
merupakan pegangan yang kuat bagi Rakyat di negeri-negeri ini. Usaha
untuk membangun negeri di bidang ekonomi dan bidang-bidang lainnya
tidak mereka pisahkan dari perjuangan melawan imperialisme,
kolonialisme, dan neo-kolonialisme. Perjuangan ini terus mereka lakukan
sungguhpun dalam ukuran yang berbeda-beda dan dalam ukuran yang kecil
sekalipun. Satu pikiran sudah mulai merasuk di kalangan mereka, yaitu
bahwa imperialisme dunia, khususnya imperialisme AS, harus diganyang
dan dihancurkan dengan jalan apapun kalau kemerdekaan sejati mau
dicapai.
Permainan imperialis AS di Afrika sudah makin terang, permainan untuk
mendesak imperialis-imperialis lainnya dan kemudian bercokol di bumi
Afrika dengan baju baru, baju neo-kolonialisme. Di Kongo mereka
melakukan campur tangan secara kasar sekali, yang berbentuk intervensi
secara terang-terangan. Di negeri-negeri lain di Afrika mereka membantu
pemerintah-pemerintah jajahan, aktif mendukung dan menstimulasi
diktator-diktator kolonial untuk menindas gerakan-gerakan Rakyat yang
menyebar laksana api di padang ilalang. Mereka juga aktif ikut menindas
revolusi-revolusi bersenjata di
Angola, Mozambik, dan
negeri-negeri lain di Afrika. Tetapi adakah revolusi Rakyat yang bisa
ditindas dan dicegah tumbuh dan menjalar? Tidak ada! Juga di Afrika
tidak. Perjuangan bersenjata yang bagi Afrika merupakan alternatif
satu-satunya untuk mencapai kemerdekaan sejati sudah menjalar di
Afrika, dimulai dari Aljazair di utara sampai ke bagian selatan dari
benua ini.
Api revolusi Rakyat melawan penindasan kolonial dan melawan eksploitasi neo-kolonial AS juga membakar benua
Amerika Latin, yang sejak lama merupakan “hinterland”, merupakan pekarangan belakang yang aman tenteram bagi kapital monopoli AS. Revolusi
Kuba tetap
merupakan mercusuar bagi gerakan kemerdekaan nasional Rakyat
negeri-negeri Amerika Latin. Dan mercusuar ini tetap tegak bagaikan
batu karang yang tidak goyah walaupun dipukul oleh gelombang-gelombang
dahsyat daripada agresi-agresi, subversi-subversi, dan
sabotase-sabotase AS. Pukulan agresor AS yang satu disusul dengan
pukulan yang lainnya terhadap Kuba dengan menggunakan tangan kaum
kontra revolusioner Kuba. Tetapi Kuba tetap berdiri dan terus
mengkonsolidasi diri. Setia kawan Rakyat sedunia terhadap Kuba makin
kuat dan kebencian Rakyat sedunia terhadap kejahatan-kejahatan yang
kotor sekali dan memuakkan dari kaum imperialis terhadap Kuba ini makin
bertambah besar.
Jalan Kuba makin lama makin banyak ditempuh oleh gerakan Rakyat di negeri-negeri Amerika Latin lainnya. Di
Venezuela, perjuangan bersenjata Rakyat mengambil dimensi-dimensi yang makin luas. Demikian juga halnya di
Kolombia, Chili, Guatemala, Kosta Rika, dan
lain-lainnya. Amerika Latin sudah bukan “pekarangan belakang” yang
aman dan tenteram lagi bagi AS. Ya, “Aliansa Para El Progresso”
(“Persekutuan untuk Kemajuan”) tetap tidak bisa membikin kaum
imperialis tidur nyenyak di kursi malas dan duduk tenteram di kursi
goyang di kebun-kebun mereka di Amerika Latin.
Argentina pun
telah mendemonstrasikan kepada kita di Indonesia bahwa “Argentine
pattern”atau “pola Argentina” bukanlah contoh yang baik untuk
dilaksanakan dalam menyelenggarakan suatu “usaha bersama” dengan kaum
imperialis di bidang perminyakan. Minyak milik Rakyat Amerika Latim
mulai membakar sekujur tubuh kaum imperialis AS.
Demikianlah perjuangan revolusioner Rakyat yang sedang berlangsung
dengan gegap gempita di Asia, Afrika, dan Amerika Latin dan yang
menggetarkan imperialisme dunia. Perjuangan revolusioner mengganyang
imperialisme AS sebagai biang keladinya imperialisme dunia ini
merupakan aktivitas Rakyat sehari-hari. Dentum meriam dan desing peluru
senapan dari pasukan-pasukan Rakyat yang menggempur benteng-benteng
imperialis AS setiap hari terdengar di ketiga benua ini. Gelora
perjuangan revolusioner ini pada dewasa ini jauh lebih besar gemanya
daripada gelora gerakan buruh di negeri-negeri Eropa dan negeri-negeri
metropolis lainnya. Rakyat di ketiga benua ini merupakan detasemen yang
paling militan dewasa ini dalam barisan NEFO yang sedang
berkonfrontasi dengan OLDEFO. Maka adalah tepat setepat-tepatnya
apabila kita mengatakan bahwa Asia-Afrika-Amerika Latin adalah poros
dari NEFO.
C. IMPERIALIS AS POROS OLDEFO
Kalau kita sudah mengetahui AAA sebagai poros NEFO, maka perlu
pula kita mengetahui apa yang dihadapi oleh NEFO itu dan apa yang
menjadi poros dari kekuatan-kekuatan OLDEFO itu.
Ketidakrataan perkembangan negeri-negeri kapitalis di lapangan
ekonomi dan politik, yang merupakan hukum perkembangan ekonomi
kapitalis itu sendiri, telah melahirkan perang dunia ke-II. Perang
dunia ke-II telah mengakibatkan bahwa perkembangan yang tidak rata dari
negeri-negeri kapitalis menjadi lebih mendalam lagi. Tiga negeri
imperialis, yaitu Jerman, Italia, dan Jepang secara militer telah
dikalahkan. Perancis menderita kerugian-kerugian besar dan Inggris
menjadi sangat lemah. Kaum monopoli AS muncul sebagai pemenang yang
tidak menderita kerugian-kerugian, malahan mereka bertambah kaya karena
keuntungan-keuntungan luar biasa yang mereka peroleh dari perang itu
dan mereka dapat menancapkan posisi mereka yang kokoh dalam dunia
kapitalis. Sesudah fasisme dihancurkan maka pusat reaksi dunia dan
agresi berpindah ke Amerika Serikat.
Tadi saya katakan bahwa Perang Dunia II telah menghasilkan
keuntungan-keuntungan luar biasa bagi monopoli-monopoli AS. Menurut
angka-angka resmi –yang tentunya lebih rendah daripada angka-angka
sebenarnya— selama perang ini keuntungan-keuntungan yang diperoleh
kapital monopoli AS naik dari 3.5 milyar dolar dalam tahun 1938 menjadi
17,2 milyar dolar dalam tahun 1941, 21,1 milyar dolar dalam tahun 1942,
15,1 milyar dolar dalam tahun 1943, dan 24.3 milyar dolar dalam tahun
1944.
Selama perang dan dalam tahun-tahun sesudah perang, kekuasaan ekonomi
dan politik monopoli-monopoli kapitas AS dalam menindas Rakyat makin
besar. Trust-trust baja, konsern-konsern kimia seperti Du Pont,
maskapai-maskapai raksasa mobil seperti General Motors dan Chrysler,
monopoli-monopoli listrik seperti General Electric, dan lain-lain lagi,
makin meluaskan sayapnya yang sudah lebar itu. Misalnya saja, General
Motors kini memiliki lebih dari 102 perusahaan raksasa di AS sendiri dan
lebih dari 33 di sejumlah 20 negara asing, dengan jumlah buruh
seluruhnya lebih dari ½ juta.
Besarnya investasi kapital AS di luar negeri akan saya paparkan dalam
bagian selanjutnya dari Bab ini. Di AS dipusatkan bagian yang terbesar
dari stok emas negeri-negeri kapitalis. AS menjadi negara piutang,
tukang renten yang pokok dari negeri-negeri imperialis lainnya.
Eskpansi AS sesudah perang dimulai dengan dalih “Bantuan untuk
Rehabilitasi Eropa sesudah Perang”. “Plan Marshall” yang diciptakan
untuk tujuan ini mempunyai maksud untuk membelenggu negeri-negeri Eropa
Barat, mencekik industri mereka, mengubah Eropa Barat menjadi “afzet
gebied”, tempat AS melemparkan barang-barangnya yang tidak mendapat
pasaran lagi dan mengekang kedaulatan negeri-negeri itu. AS bermaksud
menggiring negeri-negeri ini di atas jalan politik agresinya dan politik
militerisasi ekonominya. Plan Marshall merupakan dasar ekonominya
Pakta Atlantik Utara, persekutuan militer yang dibentuk dalam tahun
1949 oleh AS dengan bantuan kalangan yang berkuasa di Inggris guna
menancapkan kekuasaannya di dunia. Plan Marshall diikuti dengan program
untuk “menjamin keamanan bersama” dengan mana “bantuan” AS
sesungguhnya digunakan untuk kepentingan persenjataan dan mempersiapkan
perang baru.
Namun, rencana-rencana finansial-oligarki AS untuk mendominasi dunia
bukanlah rencana yang lancar jalannya dan bukannya tidak mendapat
rintangan-rintangan yang besar. Pasaran dunia kapitalis yang makin
menyempit dan persaingan yang diderita AS dan negeri-negeri Eropa Barat
merupakan hal-hal yang membikin goyah rencana-rencana itu. Perjuangan
untuk merebut pasaran juga bertambah sengit karena Jerman Barat dan
Jepamng telah ikut serta dalam pertarungan ini, dan sekarang
negeri-negeri ini ekonomis sudah kuat kembali. Maka karena menyempitnya
pasaran kapitalis yang sangat tidak menguntungkan bahkan merugikan
sekali monopoli-monopoli AS itu. AS mencari jalan keluar bagi usahanya
untuk mendominasi dunia itu dengan menjalankan ekspansi ekonomi dan
politik yang seluas-luasnya, dengan membikin negeri-negeri kapitalis
lainnya tunduk sepenuhnya atau untuk sebagian padanya, dengan mengebiri
kedaulatan negeri-negeri ini, dengan mendesak kedudukan negeri-negeri
ini dan mengopernya sebagai negeri-negeri penjajah. Bersamaan dengan
itu, kita melihat bahwa Rakyat di seluruh dunia memberikan
pukulan-pukulan yang keras dan bertubi-tubi kepada AS.
Tetapi ada pula sementara orang yang berpikiran bahwa perlu kita
melakukan pembeda-bedaan terhadap mereka yang berkuasa di Washington.
Kata mereka, administrasi Kennedy dan yang kini diteruskan oleh Lyndon
Johnson, ber-“common sense”, ber-“akal sehat”, “bisa diajak ngomong”.
Lain dengan Barry Goldwater yang ultra-kanan, kata mereka. Kita
bertanya, apa yang mereka maksud dengan akal sehat dan tentang bisa
diajak ngomong? Akal mereka adalah akal bulus, akal penipu, akal si
tukang mindring raksasa yang ingin hidup dari “hidup” orang lain, yang
ingin hidup dari kematian atau kebinasaan orang lain. Siapakah kecuali
administrasi Johnson yang menyebar racun, bom-bom kuman, yang membunuh
puluhan ribu penduduk Vietnam Selatan yang tidak bersalah dan tidak
berdosa itu? Siapakah kalau tidak administrasi Johnson yang mengagresi
RDV dan yang menginstruksikan agar mengejar kapal terbang RDV sampai
wilayah RRC sekalipun? Siapakah kalau tidak administrasi Johnson yang
menyuruh Armada ke-VII menjelajahi Samudera Indonesia dan melanggar
perairan teritorial negeri orang seenak perutnya sendiri? Siapakah
kecuali administrasi Johnson yang menandatangani pernyataan bersama
dengan boneka Inggris Tengku Abdulrahman dan membela “Malaysia” yang
bermusuhan dengan Republik Indonesia itu? Bung Karno mengatakan ini
“keterlaluan”. Baiklah, Johnson bisa ngomong tentang perdamaian. Tetapi
omongan ini adalah omongan yang berbisa, omongan dengan lidah yang
bercabang dua, suatu penipuan, dan yang sama sekali bertentangan dengan
fakta-fakta hidup di sekeliling kita dan di manapun di dunia. Tidak
ada orang yang berpikiran sehat percaya pada omongan ini. Jadi, baik
yang yang ngomong maupun yang percaya pada omongan itu sama-sama tidak
sehat pikirannya.
Dalam menghadapi pemilihan presiden AS yang akan dilangsungkan bulan
November 1964, ya, dalam menghadapi administrasi-administrasi AS yang
manapun dan pada saat apapun, selama Wallstreet yang menentukan politik
Washington, janganlah kita keterlaluan dan menjadi berotak udang
dengan mengatakan bahwa orang-orang semacam Kennedy-Johnson ber-“common
sense” dan “cinta damai” dibandingkan dengan semacam Barry Goldwater
yang ultra-kanan. Cukup bagi kita untuk tidak berilusi terhadap
orang-orang yang sudah terkenal masuk golongan “kanan” yaitu golongan
reaksioner atau kontra-revolusioner, seakan-akan dari orang-orang
semacam itu bisa diharapkan sesuatu yang baik dan bermanfaat bagi
perjuangan untuk kemerdekaan nasional dan perdamaian dunia.
AS sekarang sebagaimana sudah saya katakan adalah pusat reaksi dan
agresi dunia. AS sekarang adalah poros OLDEFO. AS sekarang secara
objektif sudah merupakan musuh utama dari Rakyat-Rakyat di seluruh
dunia. Hal ini dibuktikan oleh seluruh tindak-tanduk, seluruh
sepak-terjang, seluruh politik yang dijalankan oleh AS di segala bidang
dan di dalam maupun di luar negeri. Dalam rangkaian kuliah ini kita
akan memusatkan pembahasan pada politik luar negerinya.
1. EKSPOR KAPITAL AS DAN HUBUNGANNYA DENGAN POLITIK LUAR NEGERI AS
Jika kita meneliti angka-angka ekspor kapital dari Amerika Serikat,
maka akan kita lihat bahwa peranan AS sebagai imperialisme utama di
dunia telah sangat menonjol sejak perang dunia II. Dalam tahun 1914,
yaitu pada permulaan perang dunia I. Investasi-investasi langsung
kapital AS di luar negeri (artinya investasi-investasi yang dilakukan
dalam perusahaan-perusahaan yang langsung dikuasai oleh modal monopoli
AS) berjumlah $ 2,6 milyar. Jumlah ini meningkat menjadi $ 7,0 milyar
dalam tahun 1939 (Victor Perlo,
Empire of High Finance, halaman
295), dan dalam tahun 1950 telah menjadi $ 12,0 milyar, artinya
meningkat dengan kurang lebih 70 % dalam waktu 11 tahun (
Peking Review, No.
19, 1962, halaman 9). Tetapi kecepatan meningkat bahkan lebih
menjadi-jadi setelah tahun 1950, karena dalam tahun 1961 jumlah
invetasi-investasi langsung kapital AS di luar negeri telah meningkat
menjadi $ 35,0 milyar, artinya meningkat hampir 150 % dalam waktu 11
tahun ini (
Peking Review, No. 19, 1962, halaman 9). Inilah
sebab yang pokok daripada makin meningkatnya sifat agresif daripada
imperialisme AS. Ini bukti senyata-nyatanya bahwa watak imperialisme AS
sama sekali tidak mengalami perubahan, bahkan sebaliknya. Demikianlah
kenyataannya jika orang tidak berilusi mengenai AS.
Mengapa kapital AS begitu “kerasan” di luar negeri? Sebabnya tidak
lain ialah karena keuntungan-keuntungan yang bisa diperoleh di luar
negeri jauh lebih besar daripada keuntungan-keuntungan dari kapital
yang diinvestasi di dalam negeri. Investasi kapital di luar negeri bisa
menghasilkan keuntungan sebesar kurang lebih 15 % setahun, artinya
dalam hanya waktu 6 tahun kapital yang ditanam itu bisa sepenuhnya
kembali dakam bentuk keuntungan. Ini dapat dilihat dari angka-angka
keuntungan-keuntungan dari investasi-investasi langsung dalam tahun
1956. Pada waktu itu, investasi-investasi langsung AS di luar negeri
berjumlah $ 19,2 milyar danb keuntungan-keuntungan tahunan dari
investasi-investasi langsung tersebut berjumlah $ 3,3 milyar. Lagipula,
keuntungan-keuntungan yang diperoleh kaum monopolis AS dari investasi
di luar negeri menjadi makin banyak sebagai persentase keuntungan total
mereka. Dalam tahun 1940, keuntungan-keuntungan dari
investasi-investasi di luar negeri meliputi 9,2 % daripada seluruh
keuntungan mereka (termasuk keuntungan-keuntungan dari investasi di
dalam dan di luar negeri), tetapi dalam tahun 1956,
keuntungan-keuntungan dari investasi luar negeri sudah menjadi 14,7 %
dari seluruh keuntungan kaum monopolis Amerika Serikat (Victor Perlo,
Empire of High Finance, halaman 296). Dan persentase yang diperoleh dari investasi-investasi di luar negeri masih terus meningkat.
Dan perlu kita perhatikan bahwa angka-angka yang diberikan di atas,
semuanya merupakan angka-angka resmi menurut pembukuan resmi, sedangkan
umum mengetahui bahwa nilai sebenarnya adalah jauh melebihi
angka-angka tersebut. Majalah AS
Fortune pernah mengatakan
bahwa investasi-investasi langsung oleh kaum monopolis AS di luar
negeri mungkin mendekati $ 50, sedangkan jika ditambah dengan
investasi-investasi tidak langsung, jumlahnya akan melebihi $ 75
milyar, yaitu suatu jumlah yang kurang lebih sama dengan pendapatan
nasional Inggris, Kanada, dan negeri Belanda dijadikan satu! (V. Perlo,
Empire of High Finance, halaman 296).
Demikianlah gambaran yang serba singkat dan pokok-pokok saja mengenai kekayaan kaum monopolis AS di luar negeri.Selanjutnya perlu kita perhatikan pula bahwa investasi-investasi
dalam perusahaan-perusahaan minyak meliputi bagian yang besar daripada
jumlah investasi-investasi langsung seluruhnya. Hampir 35 % dari
seluruh investasi AS di luar negeri ditanam dalam industri minyak (UN
National Planning Association:
The Economy of the American People,
halaman 129). Hal ini adalah penting sekali diketahui oleh kita di
Indonesia. Kaum monopolis minyak AS merupakan golongan yang paling
berkepentingan dalam mempertahankan kedudukan dominasi AS di
benua-benua lain, dan dalam kenyataannya mereka juga memegang peranan
yang sangat penting dalam menentukan arah politik luar negeri AS yang
sesuai dengan kepentingan-kepentingan modal mereka. Seperti kita
ketahui, bagian terbesar daripada modal AS yang tertanam di negeri kita
justru dalam industri minyak. Karena itu, dapatlah dimengerti, bahwa
Indonesia memang termasuk dalam lingkungan perhatian kaum monopolis
yang paling agresif dan yang paling berkuasa di bidang politik luar
negeri AS, yaitu kaum monopolis minyak.
Menurut Victor Perlo, seorang ahli ekonomi AS, kaum monopolis minyak
AS menguasai lebih dari 50 % dari seluruh penghasilan tahunan yang
diperoleh oleh perusahaan-perusahaan AS di luar negeri (V. Perlo,
Empire of High Finance,
halaman 299). Dan bagian terbesar daripada keuntungan-keuntungan
minyak ini dikuasai oleh keluarga Rockefeller. Begitu besar pengaruh
perusahaan-perusahaan minyak terhadap hubungan-hubungan luar negeri AS,
sehingga mereka mempunyai aparatur sendiri yang hampir menyerupai State
Department AS dalam cara-cara kerjanya, di samping usaha-usaha mereka
untuk langsung menguasai pula jabatan-jabatan tertinggi dalam aparatur
dinas luar negeri AS. Victor Perlo mengemukakan bahwa politik luar
negeri keluarga Rockefeller dan kaum monopolis minyak lainnya pada
pokoknya mempunyai dua tujuan, yaitu
pertama, memperoleh konsesi-konsesi baru, dan
kedua menggagalkan
usaha-usaha ke arah nasionalisasi (Idem, halaman 306). Dia
mengemukakan pula bahwa berbagai langkah terpenting dalam politik luar
negeri AS selama berpuluh-puluh tahun ini, untuk bagian terbesar,
ditentukan oleh kaum monopolis minyak, seperti misalnya, penundaan
pengakuan terhadap Pemerintah Soviet setelah Revoulsi Oktober, Doktrin
Truman di Timur Tengah, Doktrin Eisenhower, dan perlawanan terhadap RRC
serta sokongan penuh yang diberikan kepada Ciang Kai-syek.
Adalah penting untuk diperhatikan bahwa kaum monopolis minyak AS juga
mempergunakan dana-dana yang besar sekali di bidang perguruan tinggi
dan di bidang riset (
research) mengenai negeri-negeri asing.
Dapat dipastikan bahwa banyak di antara buku-buu yang ditulis oleh
sarjana-sarjana AS mengenai Indonesia yang semuanya bernada bermusuhan
dengan Rakyat dan revolusi kita dan yang selalu berusaha keras mencari
dasar untuk mengadu domba kekuatan-kekuatan Rakyat, dikerjakan atas
suruhan dan dengan biaya kaum monopolis AS ini, terutama kaum monopolis
minyak.
Demikian secara singkat mengenai ekspor kapital dan politik luar negeri imperialisme AS.
2. PERANAN “BANTUAN” LUAR NEGERI AS DALAM RANGKA POLITIK AGRESI AS
“Bantuan” luar negeri merupakan alat yang amat penting bagi
imperialisme AS dalam menjalankan politik luar negerinya dan dalam
menjalankan usaha-usahanya untuk menguasai seluruh dunia. Dalam waktu
18 tahun sejak tahun 1948, yaitu tahun permulaan program “bantuan” AS
dalam skala yang besar (dalam tahun itu, dimulailah apa yang dikenal
sebagai “bantuan” Marshall), imperialisme AS telah menyediakan
“bantuan” ekonomi dan militer sebanyak $ 100 milyar atau lebih dari $ 5
milyar setahun kepada negeri-negeri di seluruh dunia kapitalis
(Charles Wolf,
Foreign Aid: Theory and Practice in Southern Asia).
Sudah jelas bahwa sejak semula tujuan pokok daripada “bantuan”
tersebut, baik “bantuan” ekonomi maupun “bantuan” militer, ialah untuk
membendung (meng-“contain”) kubu sosialis dan menguasai negeri-negeri
lain dalam usaha untuk menindas gerakan kemerdekaan nasional. Kalau
kita mau percaya kepada kata-kata manis yang dikeluarkan setiap hari
oleh kantor USIS, maka maksud daripada “bantuan” itu ialah “kemajuan
ekonomi”, “kesejahteraan sosial”, “pembangunan ekonomi”, dan macam-macam
lagi tujuan yang enak didengar. Lebih baik kita pasang telinga bukan
kepada USIS yang merupakan pabrik kebohongan yang ulung, tetapi
mendengar apa yang dikatakan oleh tokoh-tokoh AS sendiri, oleh
sarjana-sarjana AS yang sering membuat macam-macam analisis, biasanya
dengan
maksud untuk membuktikan bahwa penggunaan uang pajak AS untuk
“bantuan” itu memang dapat dibenarkan dan berguna untuk “dunia bebas”.
Sudah berulang kali kaum imperialis AS mengakui dengan tak tahu malu
bahwa setiap dolar yang dipergunakan untuk “bantuan” luar negeri adalah
guna “membeli”
security atau keamanan dalam negeri bagi AS
sendiri. Ini jauh lebih besar nilainya daripada jika dolar itu digunakan
secara langsung di sektor pertahanan di AS sendiri.
Pernah dikatakan oleh John Foster Dulles, misalnya, bahwa “berkat
program-program bantuan ini, kita dimungkinkan untuk mengeluarkan
jumlah uang yang jauh lebih sedikit bagi program-program militer kita
sendiri dan guna memperoleh keamanan yang jauh lebih besar.....”.
Oleh Eisenhower pernah dikatakan dalam tahun 1959 bahwa
“pengeluaran-pengeluaran kita untuk bantuan luar negeri adalah sama
pentingnya bagi pertahanan nasional kita seperti
pengeluaran-pengeluaran untuk tentara kita sendiri dan setiap dolar yang
dipergunakan untuk itu dapat membeli lebih banyak
security dalam negeri bagi kita”.
Dalam buku Charles Wolf yang berjudul
Foreign Aid: Theory and Practice in Southern Asia dikemukakan suatu daftar panjang daripada apa yang dinamakan “tujuan” atau “
objectives”
daripada “bantuan” luar negeri AS. Daftar ini meliputi hal-hal seperti
misalnya: memperbesar tentara-tentara lokal, mempertahankan
persekutuan SEATO, memperoleh pangkalan-pangkalan militer untuk tentara
AS, memperkokoh “stabilitas politik”, mendorong sikap yang
“bersahabat” terhadap AS, melawan tawaran-tawaran bantuan dari
negeri-negeri sosialis dan memperoleh suara-suara pro-AS di PBB
(Charels Wolf,
Foreign Aid: Theory and Practice in Southern Asia, halaman 254).
Mengenai apa yang dimaksudkan dengan “stabilitas politik”, Wolf
mengutip Eisenhower dengan panjang lebar yang antara lain mengatakan
bahwa bagi berjuta-juta Rakyat di dekat Uni Soviet dan RRC, kemerdekaan
adalah suatu hal yang baru dan “Pemimpin-Pemimpin moderat dari
nasion-nasion ini harus memperoleh bantuan yang cukup dari luar untuk
dapat memberikan harapan-harapan yang cukup meyakinkan akan tercapainya
kemajuan. Kalau tidak, Rakyat-Rakyat itu akan mengubah arahnya.
Elemen-elemen ekstrim akan bisa merebut kekuasaan, menghasut
kebencian-kebencian yang bersifat nasionalistis dan menimbulkan
pertentangan-pertentangan. Dalam keadaan demikian, timbullah bahaya
bahwa pemerintah-pemerintah bebas akan ditiadakan.....” (
Idem, halaman 261).
Dengan demikian diakui dengan tak tahu malu, bahwa “bantuan” dipakai
untuk mempertahankan apa yang dinamakan “pemimpin-pemimpin moderat”.
Dan siapa yang dimaksudkan dengan “pemimpin-pemimpin moderat”? Kalau
kita membaca uraian-uraian sarjana-sarjana yang dibiayai oleh kaum
imperialis, seperti misalnya Guy Pauker, Arnold Brackman, dan
lain-lain, atau di Australia Herbert Feith, maka yang dimaksudkan
dengan “pemimpin-pemimpin moderat” di Indonesia adalah tokoh-tokoh
Masyumi dan PSI yang masih mereka jagoi sampai detik ini.
Oleh Wolf ditekankan juga mengenai tujuan “bantuan” untuk “membeli
persahabatan, pengaruh, kemauan baik, dan kerja sama”. Tetapi dia juga
mengutip Dulles yang pernah mengatakan sebagai berikut: “Saya sama
sekali tidak peduli apakah bantuan kita membikin sahabat-sahabat atau
tidak.....Kita melakukan program-program bantuan itu hanya karena
mengabdi kepada kepentingan-kepentingan Amerika Serikat sendiri”.
Demikianlah suaranya seorang yang tak berdaya menutup-nutupi lagi
kenyataan bahwa makin lama imperialisme AS makin dibenci di seluruh
dunia.
Demikianlah mengenai tujuan-tujuan politik daripada “bantuan” luar negeri Amerika Serikat.
Tujuan-tujuan ekonomi juga memegang peranan yang besar. Hal ini
pernah dirumuskan secara singkat tapi padat dalam Amanat Presiden AS
kepada Kongres AS dalam tahun 1958 di mana dikatakan tentang
tujuan-tujuan ekonomi dari “bantuan” luar negeri AS, bahwa “dalam
mendorong pembangunan ekonomi di dunia bebas, kita mempunyai
kepentingan-kepentingan yang bersifat ekonomis.....Dalam tahun-tahun
yang akan datang, kemajuan ekonomi di negeri-negeri yang kurang maju
akan menguntungkan bagi kedua belah pihak karena akan menyediakan
pasaran-pasaran yang makin luas bagi ekspor-ekspor kita,
kemungkinan-kemungkinan baru untuk investasi kapital kita serta akan
membantu kita untuk memperoleh bahan-bahan pokok strategis yang kita
butuhkan dari luar negeri” (
Idem, halaman 271).
Kata-kata ini diucapkan dalam tahun 1958. Pada akhir bulan September
1964, USIS mengumumkan bahwa perdagangan AS dengan negeri-negeri Asia
telah “bertambah sehat” sejak tahun 1959. Sehat untuk siapa? Hal ini
dapat kita lihat dari angka-angka yang diberikan oleh USIS, yaitu bahwa
jika dalam tahun 1959 kelebihan ekspor AS ke negeri-negeri Asia
(khususnya Timur Jauh) hanya berjumlah $ 9,8 juta, maka dalam tahun
1963 kelebihan ekspor AS dengan negeri-negeri ini telah meningkat
menjadi $ 1.296 juta. Artinya, dalam waktu 5 tahun itu perdagangan AS
dengan Asia menjadi 130 x “
lebih sehat” untuk AS.
Dan bagaimana secara khusus mengenai “bantuan” AS yang diberikan
kepada Indonesia? Mengenai hal itu, Charles Wolf, penulis buku itu,
ternyata cukup ahli karena pernah bekerja di Kedutaan Besar AS di
Jakarta. Dia secara tak tahu malu menjelaskan, bahwa “bantuan” AS
kepada Indonesia sangat didorong oleh hasil-hasil pemilihan umum di
Indonesia dalam tahun 1955 dan 1957. Penjelasan Wolf mengenai hal ini
adalah sedemikian menarik sehingga saya akan mengutipnya secara
lengkap:
“Mengenai Indonesia, memang terdapat alasan-alasan untuk
menghubungkan kenaikan bantuan dengan perkembangan-perkembangan dalam
negeri karena hal-hal tersebut telah menjadikan bantuan AS sebagai hal
yang lebih ‘bernilai’ dalam melakukan usaha-usaha untuk mencapai
stabilitas politik. Singkatnya, perkembangan-perkembangan dalam negeri
tersebut ialah hasil-hasil pemilihan umum di Indonesia dalam tahun 1955
di mana Partai Komunis Indonesia dengan tidak diduga-duga memperoleh 20
% daripada suara-suara. Pun di Indonesia hal-hal seperti pemilihan
umum dapat dianggap kurang penting dalam mempengaruhi jumlah bantuan
AS, jika dibadingkan misalnya dengan hal seperti sikap yang bersahabat
dan mau bekerja sama daripada Pemerintah Burhanuddin atau kenyataan
bahwa Presiden Sukarno menerima baik suatu undangan untuk berkunjung ke
AS. Bagaimanapun juga, pengaruh-pengaruh dari berbagai hal ini
mempunyai pengaruh yang besar terhadap ‘nilainya’ Indonesia sebagai
suatu negeri penerima bantuan. Di satu pihak, bantuan dalam rangka
Mutual Security Program telah diperbesar. Dan dalam bulan Maret 1956
telah disetujui untuk memberikan barang-barang pertanian (SAC) sejumlah $
97,8 juta. Tidak pernah sebelumnya itu kepada suatu negeri Asia
diberikan barang-barang SAC sebanyak itu” (
Idem,halaman 221).
Dan bagaimana tentang hasil-hasil pemilihan umum di Indonesia dalam
tahun 1957? Dalam hal inipun, Wolf memberikan komentarnya yang sungguh
menarik. Dia berkata:
“Dalam pemilihan umum pemerintahan daerah tahun 1957, PKI memperoleh
jumlah suara yang terbesar di Jawa. Harus diakui dan disesalkan, bahwa
cara-cara yang tersedia bagi AS untuk dapat mempengaruhi
perkembangan-perkembangan semacam itu adalah terbatas. Yang paling
menentukan dalam keadaan yang demikian terletak dalam hal pimpinan
internal, sumber-sumber atau dana-dana yang tersedia dan ‘good fortune’
atau hal-hal yang kebetulan. Tetapi dalam keadaan yang demikian, sudah
dapat dipastikan, bahwa salah satu senjata politik luar negeri AS yang
paling ampuh ialah bantuan luar negeri, terutama segi ‘ekonomi’
daripada bantuan luar negeri” (Idem, halaman 415).
Cukup kiranya dengan bahan-bahan di atas, untuk melihat betapa
“bantuan” luar negeri AS dipergunakan sebagai senjata bagi imperialisme
AS untuk membendung kemajuan Rakyat-Rakyat di seluruh dunia dan untuk
menguasai seluruh dunia. “Bantuan” AS adalah campur tangan langsung
dalam urusan internal negeri lain.
3. MILITERISASI EKONOMI NEGERI-NEGERI IMPERIALIS, TERUTAMA SEKALI AS
Semenjak Uni Soviet dan negeri-negeri sosialis lainnya lahir, dengan
ekonomi sosialis yang langsung berlawanan dengan ekonomi kapitalis,
maka pasaran dunia yang sebelumnya merupakan pasaran dunia yang
sifatnya tunggal, yaitu pasaran tempat menjual barang-barang
hasil-hasil industri kapitalis semata-mata, menjadi terpecah dua.
Pasaran dunia tidak merupakan pasaran dunia yang tunggal lagi. Dalam
dunia kemudian timbul dua pasaran, pasaran kapitalis dan pasaran
sosialis. Kenyataan lainnya ialah bahwa daerah-daerah tempat sumber
bahan-bahan mentah menjadi lebih sempit bagi negeri-negeri imperialis.
Menyempitnya daerah-daerah sumber bahan mentah mengakibatkan makin
hebatnya perebutan di kalangan negeri-negeri imperialis untuk mendapat
daerah-daerah atau negeri-negeri tempat menjual barang-barang industri
mereka, daerah-daerah atau negeri-negeri untuk mendapat bahan-bahan
mentah, dan daerah atau negeri-negeri tempat menginvestasi kapital
mereka. Kaum imperialis, terutama sekali imperialis AS, berdaya upaya
untuk mengkompensasi kerugian yang mereka derita karena menyempitnya
daerah bahan-bahan mentah dan terpecahnya pasaran tunggal ini, dengan
melakukan ekspansi yang lebih luas atas kerugian saingan-saingan mereka
(negeri-negeri imperialis lainnya), dengan menjalankan agresi-agresi,
persenjataan yang gila-gilaan dan dengan memiliterisasi ekonomi.
Jadi, dalam keadaan di mana pasaran tunggal menjadi terpecah dua dan
menyempitnya daerah sumber-sumber bahan mentah, kaum kapitalis monopoli
menempuh jalan “militerisasi” ekonomi negeri-negeri mereka. Jalan ini
mereka tempuh tidak lain untuk bisa memperbesar keuntungan-keuntungan
mereka. Tetapi militerisasi ekonomi ini tidak bisa tidak mengakibatkan
pertentangan-pertentangan atau kontradiksi-kontradiksi yang lebih
mendalam dan lebih runcing di kalangan mereka sendiri.
Esensi ekonomi daripada militerisasi ini ialah bahwa bagian yang
senantiasa makin besar dan barang-barang jadi dan bahan-bahan mentah
digunakan untuk tujuan-tujuan yang tidak produktif, yaitu dalam bentuk
barang-barang yang mempunyai nilai-nilai strategis (militer). Produksi
persenjataan ini terus diperluas oleh kaum kapitalis monopoli.
Perluasan produksi persenjataan ini mereka tempuh melalui penurunan
upah-upah buruh, penindasan-penindasan yang lebih keras terhadap kaum
tani, peningkatan pajak-pajak, dan perampokan yang lebih intensif
terhadap Rakyat negeri-negeri jajahan dan negeri-negeri yang
tergantung. Semua ini membikin daya beli Rakyat menjadi lebih lemah
mengurangi produksi barang-barang industri dan pertanian, serta sangat
mengurangi produksi baranh-barang untuk kebutuhan sipil. Karena itulah,
maka militerisasi ekonomi negeri-negeri kapitalis lebih memperbesar
disproporsi atau ketidakseimbangan antara kemungkinan-kemungkinan
produksi (
productie mogelijkheden) dengan daya beli yang makin
menurun dari penduduk. Dan hal ini tidak boleh tidak mengakibatkan
krisis-krisis ekonomi negeri-negeri kapitalis itu.
Sesudah Perang Dunia II, industri AS tanpa melalui fase kenaikan,
pada akhir 1948 mengalami krisis ekonomi, dan krisis ini makin keras
selama seluruh tahun 1949. Tanda-tanda krisis ekonomi dalam tahun 1949
juga dapat dilihat di negeri-negeri Eropa Barat.
Perluasan produksi persenjataan di AS dan negeri-negeri blok Atlantik
lainnya yang sangat menonjol dalam pertengahan tahun 1950 sesudah
perang agresi imperialis terhadap Korea dilancarkan, memungkinkan
timbulnya kenaikan produksi industri. Hal ini hanya dicapai atas
kerugian perkembangan ekonomi negeri-negeri kapitalis itu sendiri.
Begitulah maka dalam pertengahan kedua tahun 1953 timbul krisis ekonomi
lagi di AS yang mengakibatkan berkurangnya produksi industri.
Militerisasi ekonomi membawa keuntungan-keuntungan yang luar biasa
bagi kaum kapitalis monopoli. Dan militerisasi ekonomi dengan
sendirinya merupakan stimulator dan katalisator dari agresi-agresi
imperialis yang terutama sekali dijalankan oleh kaum kapitalis monopoli
AS.
4. MUSUH PERTAMA RAKYAT SEDUNIA
Betapa busuk dan jahatnya politik imperialis AS menjadi jelas bagi
kita. Kesimpulan wajar yang dapat kita tarik daripadanya ialah bahwa
sebagai biang keladi imperialisme dunia, AS sekaligus telah menjadi
musuh Rakyat-Rakyat sedunia. Lihatlah sasaran revolusi-revolusi Rakyat
dan gerakan-gerakan revolusioner Rakyat seluruh dunia, yang pada
umumnya ialah imperialisme AS. Juga bagi revolusi Indonesia,
imperialisme AS telah menjadi musuh nomor satu. Imperialisme Inggris
tidak akan sekurang ajar sekarang dalam membela proyek “Malaysia”-nya
jika seandainya di Asia tidak ada kekuatan AS yang berupa Armada ke-VII
dan pangkalan-pangkalan militer.
Dari tindak tanduknya di mana saja di dunia, jelas pula terlihat
bahwa agresivitasnya tidak menjadi berkurang, sebaliknya AS bertindak
makin kurang ajar dan makin nekad. Dalam seluruh garis dan jalan
politiknya sama sekali tidak ada tanda-tanda bahwa AS menunjukkan
keinginan damai, siapapun atau presiden manapun yang memegang tampuk
kekuasaan negara AS.
Itulah sebabnya mengapa ia makin lama makin diganyang oleh Rakyat
sedunia, dan mengapa barisan Rakyat yang mengganyangnya makin lama
makin besar, makin luas, dan makin kuat sebagaimana dibuktikan oleh
kejadian-kejadian internasional sekarang ini.
5. RUNTUHNYA SISTEM KOLONIAL DARIPADA IMPERIALISME
Baik Presiden Sukarno, maupun negarawan-negawaran dan
pemimpin-pemimpin Rakyat lainnya, baik di Indonesia maupun di
negeri-negeri lain senantiasa tegas menandaskan bahwa imperialisme
sedang menuju dengan cepat ke liang kuburnya, bahwa imperialisme sedang
sekarat. Sebagai tingkat atau stadium terakhir dari kapitalisme,
imperialisme tidak lain daripada kapitalisme yang sedang sekarat,
“moribund capitalism”, sedang menuju kematiannya.
Ada sementara orang yang melebih-lebihkan kekuatan imperialisme yang
sudah sekarat ini dengan menekankan bahwa imperialisme masih kuat dan
kuasa, masih hebat dan luar biasa kekuatannya. Lihatlah AS yang
“bergigi” nuklir, lihatlah Inggris yang masih kokoh, demikian kata
mereka. Pandangan mereka dibikin silau oleh persenjataan dan kekuatan
militer yang dimiliki AS sekarang ini, oleh senjata-senjata nuklir dan
roket-roketnya. Mereka tidak mau mengerti bahwa Rakyat yang menentukan
jalannya sejarah dan bahwa nasib sesuatu negeri ataupun dunia bukan
pertama-tama ditentukan oleh senjata. Ini dengan gamblang bisa ditarik
kesimpulan dari pergolakan-pergolakan yang timbul di dunia, dari
revolusi-revolusi yang sukses, dari Revolusi Oktober di Rusia Tsar
sampai ke Revolusi Tiongkok, Indonesia, Vietnam, dan Kuba. Sungguh
kasihan mereka yang berpandangan demikian yang hakikatnya melihat dunia
serba gelap tanpa perspektif yang bersinar cemerlang, yang mau hidup
dengan menyesuaikan diri pada keinginan-keinginan imperialis yang
rakus, tamak, dan jahat itu.
Pandangan “serba senjata” ini membunuh energi Rakyat yang selalu
ingin bangkit sekalipun kurang baik persenjataannya melawan
imperialisme yang komplit persenjataannya.
Di pihak lain, ada pula pandangan yang mengatakan bahwa dewasa ini
imperialisme sudah mati. Menurut mereka, masalah melawan imperialisme
dan kolonialisme bukan lagi merupakan masalah bagi bangsa-bangsa di
dunia dewasa ini, karena kemerdekaan sudah dimiliki oleh bangsa-bangsa
di dunia. Masalah dunia sekarang adalah masalah memelihara perdamaian,
perdamaian, dan sekali lagi perdamaian, masalah mempertinggi kultur
umat manusia, masalah kerja sama di bidang ekonomi, dan sebagainya, dan
sebagainya. Pandangan ini dinyatakan misalnya oleh almarhum Nehru
dalam Konferensi Nonblok ke-I di Beograd dan dilanjutkan oleh pihak
India, Yugoslavia, dan lain-lain, dalam Konferensi Nonblok ke-II di
Kairo baru-baru ini. Dan pandangan ini masih dianut oleh sementara
orang. Tapi anehnya, bersamaan dengan mengatakan “imperialisme sudah
mati”, mereka sujud dan berkapitulasi di hadapan imperialis.
Kedua-dua pandangan ini adalah ekstrim dan karenanya tentu keliru.
Kedua pandangan itu sama-sama melemahkan, mengebiri, atau mematikan
perjuangan melawan imperialisme untuk kemerdekaan dan untuk membangun
dunia baru yang adil dan makmur. Yang benar ialah bahwa imperialisme
belum mati, tetapi juga ia tidak lagi merupakan kekuatan yang besar,
perjkasa dan hebat yang bisa memaksakan kemauannya dengan sesuka
hatinya.
Perkembangan kapitalisme mendapat pukulan yang hebat dengan timbulnya
kubu sosialis yang diametral berlawanan dengan kubu kapitalis setelah
lahirnya Uni Soviet dalam tahun 1917 dan negeri-negeri sosialis lainnya
sesudah Perang Dunia II. Perkembangan ini makin bertambah berat bagi
kapitalisme dengan krisis yang diderita oleh sistem kolonialnya.Negeri-negeri imperialis menimpakan beban-beban serta akibat-akibat
peperangan-peperangan pada pundak Rakyat negeri-negeri jajahan dan
negeri-negeri tergantung. Tingkat hidup Rakyat-Rakyat ini karenanya
menjadi menurun secara katastrofal. Semua ini lebih memperhebat
kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan imperialisme. Dan
kontradiksi-kontadiksi ini mengambil bentuk yang aneka ragam dan runcing
serta dahsyat sebagaimana kita lihat di AAA.
Kaum monopolis AS sebagaimana sudah saya uraikan tadi, dengan dalih
memberikan “bantuan” kepada negeri-negeri yang kurang maju, mendesak
masuk secara sistematis ke negeri-negeri jajahn dan ke daerah-daerah
pengaruh negeri-negeri Eropa Barat. Dengan demikian maka
perampokan-perampokan terhadap negeri-negeri ini yang dilakukan oleh
imperialisme AS bertambah intensif dan desakan-desakan AS ini
menimbulkan juga kontradiksi-kontradiksi yang runcing antara
imperialisme AS dengan imperialisme-imperialisme lainnya. Kita mengenal
kontradiksi-kontradiksi yang makin menjadi-jadi terutama antara AS
dengan Perancis dan antara Inggris dengan Perancis di berbagai
persekutuan-persekutuan ekonomi maupun aliansi-aliansi militer.
Hal ini semua membawa krisis yang makin mendalam dan keruntuhan secara total dari sistem kolonial imperialisme.
BAB II
ASIA TENGGARA PUSAT TELENG KONTRADIKSI-KONTRADIKSI DUNIA
Dalam Bab I sudah dijelaskan bahwa Asia-Afrika-Amerika Latin
merupakan daerah poros NEFO. Dalam uraian itu dijelaskan pula
perjuangan Rakyat-Rakyat di daerah poros itu yang menonjol dalam
melawan imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme itu.
Perjuangan-perjuangan yang menonjol ini dapat kita katakan sebagai
titik-titik pusat. Begitulah maka titik pusat perjuangan di Amerika
Latin adalah perjuangan Rakyat Kuba dan Venezuela. Untuk Afrika, titik
pusatnya ialah perjuangan Rakyat Kongo dan Angola. Untuk Asia, maka
perjuangan Rakyat-Rakyat Asia Tenggaralah yang menjadi titik pusat.
Seluruh Asia Tenggara merupakan titik pusat di daerah kontradiksi
terpokok. Presiden Sukarno dalam
Tavip telah menegaskan bahwa
“Asia Tenggara sekarang ini sebenar-benarnya sedang menjadi pusat
telengnya kontradiksi-kontradiksi dunia” (
Tavip, halaman 31).
Di Asia Tenggara bercokol banyak imperialis, dari yang paling besar
yaitu imperialis AS, Inggris, dan Perancis, sampai yang paling kecil
seperti Portugis, Swiss, dan lain-lain. Betapa tidak! Arti penting yang
besar dari Asia Tenggara dari sudut ekonomi dapat dilihat dari
barang-barang yang dihasilkannya seperti karet, teh, gula, tembakau,
beras, kopra, wolfram, nikel, timah putih, timah hitam, mangaan,
bauksit, minyak, dan lain-lain. Asia Tenggara mempunyai kedudukan
strategis yang penting. Ia merupakan jembatan antara India dan
Tiongkok. Ia menghubungkan dua samudera besar, Samudera Indonesia dan
Samudera Pasifik yang merupakan jalan perniagaan laut yang pokok dengan
lalu lintas pelayaran niaga yang ramai antara Eropa dengan Timur Jauh
dan Oseania.
Kontradiksi-kontradiksi dunia di daerah ini terdapat dalam
bentuk-bentuknya yang paling tajam. Di daerah ini terdapat semua
kontradiksi dasar, yaitu: antara Sosialisme (RDV dan RRC) dengan
imperialisme dan antara proletariat dengan borjuasi. Di daerah ini
terdapat kontradiksi antara nasion-nasion tertindas dengan imperialisme
karena adanya nasion-nasion yang baru merdeka dan nasion-nasion
terjajah serta tergantung yang melawan imperialisme sebagaimana halnya
Rakyat-Rakyat Malaya dan Kalimantan Utara serta Rakyat Indonesia
mengganyang “Malaysia”, Rakyat Vietnam Selatan melawan imperialisme AS,
dan lain-lain. Juga di daerah ini terdapat kontradiksi antara kaum
imperialis AS dengan Perancis, dengan Inggris, dengan Belanda, dan
lain-lain. Jadi, keempat-empat kontradiksi dasar terdapat di Asia
Tenggara ini sehingga dapatlah dikatakan bahwa Asia Tenggara adalah
miniaturnya dunia, dunia dalam bentuk kecilnya. Penyelesaian
kontradiksi-kontradiksi ini berarti memotong garis hidup imperalisme
dunia. Inilah sebabnya mengapa saya mengatakan bahwa Asia Tenggara
adalah fokus dari fokusnya AAA. Inilah sebabnya mengapa saya menyetujui
sepenhnya pendapat Bung Karno, bahwa Asia Tenggara adalah pusat
telengnya kontradiksi-kontradiksi dunia. Marilah kita tinjau perjuangan
Rakyat di Asia Tenggara ini dalam mengganyang imperialisme dunia,
khususnya imperialisme AS.
Pertama-tama, marilah kita pusatkan perhatian pada Indocina, khususnya Vietnam dan lebih khusus lagi pada
Vietnam Selatan.
Di Vietnam Selatan sedang berlangsung satu epos yang mengagumkan yang
merebut rasa hormat dan simpati serta kebanggaan dari setiap patriot
dan pejuang kemerdekaan negeri manapun juga. Di Vietnam Selatan,
sebagaimana di negeri-negeri Indocina pada umumnya, imperialisme
Perancis yang tadinya berkuasa sudah dipaksa mundur dan diusir pergi.
Tetapi imperialisme AS yang menginjak-injak Perjanjian Jenewa berhasil
bercokol di Vietnam Selatan melalui agresi-agresi dan
intervensi-intervensinya yang dikutuk oleh umat manusia progresif di
seluruh dunia. Pengalaman Vietnam Selatan ini merupakan pelajaran bagi
Rakyat-Rakyat sedunia. Bagi Rakyat Indonesia, pengalaman-pengalaman ini
berarti bahwa anti-imperialisme Belanda dan kemudian anti-imperialisme
Inggris saja tidak cukup, tetapi juga harus anti-imperialisme AS
karena imperialisme AS adalah biang keladi imperialisme dunia. Tidak
berbuat demikian berarti tidak cukup waspada, dan ini berarti akan
jatuh ke dalam kekuasaan imperialisme AS.
Di Vietnam Selatan, imperialis AS sedang menjalankan “perang khusus”
dalam rangka mewujudkan sistem neo-kolonialismenya. “Perang khusus” ini
dilancarkan melalui suatu boneka yang dibenci Rakyat. Rezim
anti-Rakyat ini membangun tentara boneka yang dipersenjatai sepenuhnya
oleh AS. Tentara boneka ini dikuasai oleh AS lewat opsir-opsirnya
sendiri dengan memakai berbagai kedok.
Dalam waktu 10 tahun, sejak tahun 1954 sampai 1963, kaum imperialis
AS telah mengeluarkan uang sejumlah 4 milyar dolar untuk membiayai
perang kotornya di Vietnam Selatan. Pada dewasa ini, mereka
mengeluarkan $ 2 juta sehari. Mereka telah membangun 111 lapangan
terbang militer dan 11 pelabuhan militer. Tentara boneka Vietnam Selatan
terdiri dari 600.000 orang, sedangkan apa yang dinamakan “penasihat”
AS yang langsung memimpin tentara boneka ini berjumlah 30.000 orang.
Menurut perkiraan kaum imperialis AS, mereka baru dapat menumpas
gerakan Rakyat di Vietnam Selatan, jika jumlah tentara boneka mereka
melebihi pasukan-pasukan gerilya Rakyat dengan perbandingan 20 lawan 1.
Padahal menurut Front Nasional Pembeasan Vietnam Selatan dewasa ini
perbandingan itu “baru” mencapai 4 lawan 1. Kaum imperialis AS sekarang
sudah kewalahan. Dengan demikian, AS harus mengakui bahwa seorang
gerilya yang bersenjata sederhana adalah sama kuatnya dengan 20 orang
tentara bayaran yang diperlengkapi dengan senjata yang paling modern.
Dan ini sekaligus berarti membuka kesempatan membikin
keuntungan-keuntungan raksasa bagi industrialis-industrialis senjata
AS.
Sadar akan kekuatan yang luar biasa dari pasukan-pasukan gerilya
karena erat bersatu padu dengan Rakyat, maka kaum imperialis AS
berusaha untuk memisahkan Rakyat dari gerilya-gerilya ini dengan
memasukkan seluruh penduduk desa ke dalam apa yang dinamakan “desa-desa
strategis” yang dikelilingi dengan pagar kawat berduri yang tinggi,
yang dijaga keras dan yang tidak lain merupakan kamp-kamp konsentrasi.
Tapi apa hendak dikata! Di dalam kamp-kamp inipun timbul
perlawanan-perlawanan hebat dan siasat inipun tidak memberikan manfaat
apa-apa bagi mereka. Menghadapi keadaan yang demikian, maka AS
melancarkan perang kimia. Dalam waktu 2 ½ tahun mereka telah 200 kali
menyebarkan bahan-bahan kimia yang beracun yang telah membunuh atau
melukai 20.000 orang, mematikan beribu-ribu ternak dan membinasakan
tanaman bahan makanan seperti padi dan sebagainya seluas 300.000 ha.
Perang Vietnam Selatan direncanakan dan dilancarkan oleh orang-orang
seperti Presiden Kennedy, Presiden Johnson, Jenderal Maxwell Taylor
yang sekarang menjadi “duta besar” AS di Saigon dan Mc. Namara, Menteri
Pertahanan AS. Dalam pertengahan tahun 1961, Lyndon Johnson yang pada
waktu itu adalah Wakil Presiden AS datang ke Saigon atas perintah
Kennedy untuk merencanakan usaha-usaha menumpas gerakan Rakyat di
Vietnam Selatan. Yang menjadi pusat perhatiannya ialah usaha memperkuat
Komando Militer AS, memperluas tentara boneka Vietnam Selatan, dan
mengirimkan lebih banyak “penasihat” AS dan perlengkapan militer. Juga
disusun apa yang dinamakan rencana “Staley-Taylor” untuk menumpas
perlawanan Rakyat dalam waktu 18 bulan. Kita semua mengetahui hasil
yang dicapai oleh plan 18 bulan ini. Yang ditumpas bukan gerakan
Rakyat, melainkan AS beserta tentara-tentara dan rezim bonekanya.
Gerilya Rakyat di bawah pimpinan Front Nasional Pembebasan Vietnam
Selatan telah membebaskan lebih dari 75 % wilayah Vietnam Selatan. Kaum
imperialis tinggal menunggu saatnya untuk ditendang keluar Vietnam
Selatan. Rezim boneka Vietnam Selatan juga sedang mengalami krisis
kekuasaan yang bersifat total.
Tavip menegaskan bahwa “Di Vietnam Selatan nasib yang tempo
hari dialami oleh Jenderal Lattre de Tassigny kini rupanya sedang
menimpa jenderal-jenderal lain, jenderal-jenderal dari negara lain
tetapi yang nasibnya kiranya setali tiga uang” (halaman 34).
Selanjutnya,
Tavip juga menyatakan “Barangkali kaum imperialis
boleh menghibur dirinya sendiri dengan kenyataan bahwa setidak-tidaknya
mereka dikalahkan oleh bukan sembarang gerilya, tetapi oleh
gerilyawan-gerilyawan yang benar-benar jempolannya gerilyawan” (halaman
35).
Menghadapi kegagalan di Vietnam Selatan, kaum imperialis telah
mengadakan konferensi tokoh-tokoh militer mereka di Honolulu beberapa
bulan yang lampau di mana direncanakan untuk memperluas peperangan ke
Vietnam Utara, ke RDV. Provokasi Teluk Tonkin yang sudah dua kali
diadakan itu merupakan permulaan dari rencana jahat tersebut di atas.
Tetapi provokasi-provokasi inipun mengalami kegagalan total berkat
kewaspadaan dan kesiapsiagaan serta kepahlawanan Rakyat dan Pemerintah
RDV yang telah memberikan pukulan-pukulan balasan yang jitu dan
setimpal. Provokasi Tonkin mengakibatkan bahwa imperialis AS sendiri
makin terekspos, makin terbuka kedoknya serta makin terisolasi
kedudukannya. Belum pernah imperialis AS begitu tersudutkan seperti
yang diakibatkan oleh provokasi-provokasi agresifnya terhadap Republik
Demokrasi Vietnam. Bung Karno mengatakan dalam
Tavip tentang
agresi AS ini: “..... serangan Amerika atas Vietnam Utara sekarang
inipun, kami kutuk dengan sekeras-kerasnya” (halaman 33). Selanjutnya
Bung Karno berkata: “Rakyat Vietnam sudah barang tentu akan melawan
mati-matian, sebagaimana mereka dulu melawan mati-matian kepada
serangan-serangan imperialisme Perancis” (halaman 35).
Di samping memerangi Rakyat Vietnam Selatan, kaum imperialis AS juga mengaduk-aduk di
Laos dengan
maksud menyabot pelaksanaan Perjanjian Jenewa tentang Laos dan
berusaha menunpas gerakan demokratis dari Rakyat Laos. Seperti
negeri-negeri Indocina lainnya, Laos mempunyai arti penting yang besar
bagi imperialis AS dalam usahanya untuk menyelamatkan
kepentingan-kepentingan kolonialnya di Asia Tenggara. Untuk menyabot
pelaksanaan Perjanjian Jenewa tersebut, kaum imperialis AS telah
menimbulkan kembali perang dalam negeri dan berusaha memperluasnya ke
seluruh negeri. Dengan kapal-kapal terbang, kaum imperialis secara
terang-terangan membomi secara membabi buta wilayah-wilayah Laos,
seperti Xien Khouang dan Dataran Tempayan serta wilayah-wilayah Laos
lainnya di mana Neo Lao Haksat mempunyai pengaruh yang besar. Kaum
imperialis AS menimbulkan provokasi-provokasi pertempuran bersenjata
antara pasukan-pasukan dari ketiga golongan yang ada di Laos, yaitu
golongan kiri, golongan netralis, dan golongan kanan, yang
masing-masing diwakili oleh Pangeran Souphanouvong, Pangeran
Souphanavouma dan Pangeran Boum Oum. Tetapi pasukan-pasukan golongan
netralis sejati tetap tidak terprovokasi dan melawan agresi yang
dilancarkan oleh kaum imperialis AS. Kaum imperialis AS berdaya upaya
untuk melumpuhkan pemerintah koalisi nasional dari ketiga golongan itu
dengan menghasut Boum Oum agar melakukan obstruksi-obstruksi yang
sebesar-besarnya terutama sekali terhadap golongan kiri. Di dalam usaha
yang keji ini, mereka berhasil mndorong wakil golongan netral, Pangeran
Souphanavouma, untuk berkhianat terhadap golongan kiri dan
menjadikannya sebagai wakil dari golongan netralis yang munafik. Paling
akhir, kaum imperialis AS berusaha sekeras-kerasnya untuk mentorpedo
dan mengandaskan pertemuan antara 3 pangeran yang diadakan di Paris.
Tetapi di Laos pun imperialis AS tidak akan berhasil. Rakyat Laos
berkesadaran politik yang tinggi dan bersemangat anti-imperialisme dan
mereka cukup kuat untuk melancarkan gempuran-gempuran mereka terhadap
imperialisme AS. Gelombang pasang revolusi juga mengalun di Laos untuk
menghanyutkan tiang-tiang bangunan neo-kolonialisme AS yang hendak
ditegakkannya di bumi Laos.
Perjuangan yang sama isinya dilakukan oleh Rakyat dan Pemerintah
Kamboja terhadap
kaum imperialis AS. Pangeran Norodom Sihanouk yang mengepalai
pemerintah Kerajaan Kamboja, dengan teguh dan penuh keberanian melawan
segala intrik, subversi, dam intervensi bahkan agresi bersenjata AS
terhadap Kamboja. Kejauhan pandangan Sihanouk, realismenya yang besar
dalam meninjau dan menilai keadaan sekeliling negerinya serta dalam
mengambil langkah-langkah yang patriotik, membikin Kamboja tergolong
sebagai salah satu negeri yang terhormat dalam barisan NEFO. Kata-kata
“gentar” dan “takut” sungguh tidak ada dalam kamus Kamboja yang
berjuang melawan setan dunia, imperialisme AS ini. Perjuangan Rakyat
dan Pemerintah Kamboja ini tidak bisa lain kecuali memberi sumbangan
dan kekuatan yang berharga pada perjuangan Rakyat-Rakyat sedunia untuk
menumbangkan kubu imperialisme AS sampai ke dasar-dasarnya.
Demikianlah, perjuangan Rakyat Indocina merupaka salah satu titik
pusat dari perjuangan Rakyat seluruh Asia Tenggara dalam mengganyang
dan mengusir serta mengakhiri dominasi kolonial dari kaum imperialis
untuk selama-lamanya.
Dalam perjuangan Rakyat-Rakyat di Asia Tenggara melawan imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme,
Indonesia menempati
kedudukan yang penting sekali. Negeri kita kaya dengan bahan-bahan
mentah yang diperlukan bagi perkembangan industri modern. Negeri kita
mempunyai penduduk yang paling besar jumlahnya di Asia Tenggara. Rakyat
kita memiliki tradisi-tradisi revolusioner yang gemilang. Baik
pemerintah kolonial Belanda maupun pemerintah fasis Jepang, merasakan
pukulan-pukulan keras yang dihantamkan oleh gerakan nasional Rakyat
kita kepada mereka untuk mencapai kemerdekaan nasional. Negeri kita juga
menempati kedudukan yang strategis militer penting sekali. Dan inilah
sebabnya pula mengapa kaum imperialis senantiasa mereka khawatir
terhadap Indonesia yang bisa membahayakan usaha mereka untuk mengepung
negeri-negeri sosialis di Asia dan menindas gerakan-gerakan Rakyat di
daerah-daerah lain di Asia Tenggara. Arti penting lainnya daripada
kedudukan Indonesia dalam perjuangan Rakyat-Rakyat Asia Tenggara ini
juga terletak pada kenyataan bahwa baik Rakyat maupun pemerintah di
bawah pimpinan Bung Karno dengan teguh melawan imperialisme,
kolonialisme, dan neo-kolonialisme sebagaimana digariskan oleh
Manipol, Dasa Sila Bandung, dan
Membangun Dunia Kembali. Perjuangan
melawan imperialisme dilakukan oleh Rakyat Indonesia dengan konsekuen
dan jika perlu dengan kekuatan senjata sebagaimana sudah disaksikan
oleh dunia dengan pembebasan Irian Barat dari cengkeraman imperialisme
Belanda. Hal ini juga telah dibuktikan dengan dihancurkannya
kontra-revolusi DI-TII dan “PRRI-Permesta” yang dibantu dengan aktif
dan intensif oleh kaum imperialis AS dan imperialis-imperialis lainnya.
Demikian pula hal ini dibuktikan dengan melatih dan mengirim
sukarelawan-sukarelawan bersenjata guna membantu Rakyat Kalimantan
Utara dan Pemerintah Revolusioner NKKU di bawah pimpinan Perdana
Menteri Azahari untuk membebaskan Kalimantan Utara.
Revolusi Agustus 1945 telah memberikan pengalaman-pengalaman yang
sangat berharga kepada revolusi-revolusi Rakyat, tidak saja di Asia
Tenggara tetapi juga di daerah-daerah lainnya di dunia yang belum bebas
dari kapitalisme dan imperialisme. Sekarang ini Rakyat Indonesia
sedang melanjutkan perjuangan menyelesaikan tuntutan-tuntutan Revolusi
Agustus 1945 sampai ke akar-akarnya. Ujung tombak perjuangan Rakyat
Indonesia dewasa ini ditujukan kepada imperialisme, dan “impact”
daripada perjuangan revolusioner Rakyat-Rakyat lainnya di Asia Tenggara
sangat ditakuti oleh kaum imperialis. Oleh karena itu kaum imperialis
AS dengan kaki tangannya di dalam negeri dengan berbagai jalan berusaha
keras untuk merongrong dan menyelewengkan revolusi Indonesia dari
garis Manipol. Tetapi usaha-usaha untuk merongrong dengan jalan
subversi, intrik, penyuapan-penyuapan, dan manipulasi-manipulasi
lainnya pada pokoknya mengalami kegagalan-kegagalan. Juga di negeri
kita, imperialisme AS makin terisolasi. Tidak pernah semangat anti-AS
begitu menanjak di kalangan Rakyat Indonesia dari berbagai golongan
seperti halnya sekarang ini, terutama sesudah pidato Tavip.
Kaum imperialis AS sungguh khawatir karena sampai sekarang mereka
tidak berhasil dalam membawa Republik ke dalam orbit mereka, dalam
membikin RI satu mata rantai dalam cordon sanitaire yang sedang mereka
bentuk di sekeliling negeri-negeri sosialis di Asia.
Dalam usaha
mereka untuk mengepung negeri-negeri sosialis di Asia, yang lebih dulu
menjadi korban ialah Rakyat-Rakyat yang berjuang untuk kemerdekaan
nasional yang penuh. Menundukkan Rakyat-Rakyat ini merupakan
syarat pertama bagi pembentukan cordon sanitaire mereka. Indonesia
merupakan satu “gap” atau jurang yang menganga lebar, yang tidak
memungkinkan kaum imperialis AS untuk mendirikan satu benteng sebagai
batu loncatan yang bisa mereka pergunakan untuk menyerang negeri-negeri
sosialis di Asia.
Kini kaum imperialis Inggris yang bekerja sama dengan AS mencoba
untuk mengepung Republik Indonesia, melingkunginya dengan apa yang
mereka namakan “federasi Malaysia”. Menghadapi ini Rakyat dan
pemerintah Indonesia menjalankan politik konfrontasi. Sikap Rakyat dan
pemerintah RI adalah tegas-tegas menentang dan aktif melawan. Dalam
menghadapi “Malaysia” ini, sasaran pukulan konfrontasi juga harus
diarahkan kepada imperialis AS, walaupun proyek “Malaysia” adalah
proyek neo-kolonialisme Inggris. Mengapa demikian? Tidak lain karena
imperialisme Inggris dan imperialisme AS bergandengan tangan dalam
memusuhi negeri kita. Bukankah kedua negeri itu juga menjadi
pemimpin-pemimpin dari persekutuan-persekutuan militer agresif SEATO?
Imperialisme Inggris berani bertindak begitu kurang ajar dan begitu
kepala batu justru karena sokongan kuat dan aktif yang diberikan AS
kepadanya. Imperialisme Inggris berani mengirim rombongan kapal
perangnya melintasi perairan teritorial Indonesia adalah karena AS
berdiri di belakang tindakan mereka. Inggris berani menginstruksikan
kapal-kapal terbang militer mereka melanggar udara Indonesia dan
melakukan pengintaian-pengintaian di atas wilayah RI adalah karena AS
merestui tindakan mereka. Jika Rakyat Indonesia melancarkan
pukulan-pukulan terhadap AS lewat berbagai aksi revolusioner lewat
berbagai pernyataan dan sikap yang patriotik yang melawan
kekurangajaran-kekurangajaran imperialis AS, yang di samping menyokong
“Malaysia” juga melakukan kegiatan-kegiatan subversif dan penetrasi di
segala bidang di Indonesia, maka hal ini bukanlah merupakan satu
tindakan yang salah, melainkan yang tepat setepat-tepatnya. Pertama,
karena imperialisme AS memang telah menjadi musuh pertama dari revolusi
Indonesia, dan kedua, karena memukul imperialisme AS dalam hal
“Malaysia” ini sekaligus juga berarti memukul imperialisme Inggris yang
dengan proyek “Malaysia”-nya benar-benar mengancam keamanan dan
kemerdekaan Republik Indonesia.
Di bawah pimpinan Bung Karno, Pemerintah Indonesia dengan teguh
menjalankan politik konfrontasi total terhadap “Malaysia”. Ini sesuai
dengan kehendak Rakyat dan ini sesuai dengan konsep revolusioner
daripada penyelesaian masalah “Malaysia” bagi negeri kita. Dan konsep
revolusioner sebagai konsep satu-satunya yang benar dan tepat ini pasti
akan menghasilkan kemenangan di pihak Rakyat kita. Biar kaum imperialis
AS dan Inggris gemetar dalam menghadapi tekad bulat dari Rakyat
Indonesia untuk menghabisi riwayat imperialisme di bumi Indonesia yang
indah dan kaya raya ini.
Indonesia sebagai negeri yang paling banyak penduduknya dan juga
banyak pengalaman revolusionernya di daerah Asia Tenggara harus dapat
memainkan peranan nomor satu dalam perjuangan memukul imperialisme di
Asia Tenggara yang dikepalai oleh imperialisme AS. Dengan memainkan
peranan yang demikian, Indonesia dapat pula memainkan peranan penting
dalam percaturan politik internasional.
Menangnya revolusi Indonesia akan mempunyai arti yang menentukan bagi
perkembangan revolusi di Asia Tenggara. Menangnya revolusi Asia
Tenggara berarti bobolnya benteng imperialisme di daerah ini, dan ini
berarti banjirnya revolusi dunia. Asia Tenggara adalah pusat teleng
kontradiksi-kontradiksi dunia, di samping pusat-pusat teleng yang
terdapat di Afrika dan Amerika Latin. Oleh karena itu, kaum imperialis
yang dikepalai oleh Amerika Serikat memusatkan perhatiannya ke Asia
Tenggara, kekuatan-kekuatan militer yang besar mereka tumplekkan di Asia
Tenggara dan daerah-daerah dekat Asia Tenggara.Tetapi situasi objektif di Asia Tenggara menguntungkan Rakyat.
Rakyat-Rakyat Asia Tenggara mempunyai sasaran-sasaran yang sama dalam
perjuangannya. Mereka sama-sama berjuang untuk menggulingkan 4 bukit
setan, yaitu imperialisme, feodalisme, kapitalisme komprador, dan
kapitalisme birokrat. Boleh dibilang semua Rakyat Asia Tenggara,
termasuk Rakyat Malaya, mempunyai pengalaman perjuangan bersenjata yang
bertahun-tahun. Imperialisme Inggris dapat untuk sementara menindas
gerakan bersenjata di Malaya, tetapi pengalaman perjuangan bersenjata
Rakyat Malaya yang bertahun-tahun tidak mungkin mereka tiadakan.
Syarat-syarat objektif dan situasi objektif untuk revolusi di Asia
Tenggara adalah baik. Soalnya tinggal menyediakan syarat-syarat
subjektif, orang-orang revolusioner yang mampu memimpin perjuangan itu
secara pandai di seluruh Asia Tenggara. Pada waktunya, syarat-syarat
itu pasti akan terpenuhi di semua negeri Asia Tenggara.
BAB III
POLITIK LUAR NEGERI MANIPOLIS
“Membangun Dunia Kembali” adalah garis-garis besar politik luar negeri Republik Indonesia.
Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dengan ketetapan No.
I/MPRS/60 telah menetapkan bahwa “Membangun Dunia Kembali”, yaitu
pidato Presiden Sukarno pada tanggal 30 September 1960 di muka Sidang
Umum PBB, adalah salah satu pedoman pelaksanaan Manifesto Politik
Republik Indonesia.
Di samping itu, Dewan Pertimbangan Agung dalam sidangnya pada tanggal
19 Januari 1961 telah memutuskan bahwa “isi pidato Membangun Dunia
Kembali itu adalah pedoman pelaksanaan Manifesto Politik Republik
Indonesia di bidang politik luar negeri Republik Indonesia”, dan pula
“menyetujui perincian isi pidato Membangun Dunia Kembali, sebagai satu
kesatuan tafsiran dalam pelaksanaan politik luar negeri Republik
Indonesia” (
Tubapi, halaman 250).
Dari perincian MDK tersebut yang perlu kita garis bawahi adalah bahwa:
1) “
Garis-garis besar politik luar negeri Indonesia:
a. Berdasarkan UUD 1945.
b. Bersifat bebas dan aktif, anti-imperialisme dan kolonialisme.
c. Bertujuan: Mengabdi kepada perjuangan untuk kemerdekaan
nasional Indonesia yang penuh; Mengabdi pada perjuangan untuk
kemerdekaan nasional dari seluruh bangsa-bangsa di dunia; Mengabdi pada
perjuangan untuk membela perdamaian dunia” (
Tubapi, halaman 250).
2) “
Tentang sifat dan tujuan politik luar negeri RI yang bebas
dan aktif anti-imperialisme dan kolonialisme, Manifesto Politik
menunjukkan kewajiban-kewajiban revolusi Indonesia yang terpenting
ialah membebaskan Indonesia dari semua imperialisme dan kolonialisme
dan menegakkan tiga segi kerangka sebagai berikut:
Kesatu: Pembentukan satu negara Republik Indonesia yang
berbentuk Negara-Kesatuan dan Negara-Kebangsaan yang demokratis, dengan
wilayah kekuasaan dari Sabang sampai ke Merauke;
Kedua: Pembentukan satu masyarakat adil dan makmur materiil dan spirituil dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia itu;
Ketiga: Pembentukan satu persahabatan yang baik antara
Republik Indonesia dan semua negara di dunia, terutama sekali dengan
negara-negara Asia-Afrika, atas dasar hormat-menghormati satu sama
lain, dan atas dasar bekerja-bersama membentuk satu Dunia Baru yang
bersih dari imperialisme dan kolonialisme, menuju kepada Perdamaian
Dunia yang sempurna” (
Tubapi, halaman 255).
Kalau kita telaah benar-benar 3 kerangka Manipol ini maka akan
jelaslah tentang satunya tugas politik luar negeri dan dalam negeri
serta satunya patriotisme dan internasionalisme. Jadi kelirulah jika
hal-hal itu dipertentangkan.
3) Selanjutnya dari kesimpulan perincian MDK tersebut, yang penting sekali adalah:
a. Kesimpulan bahwa: “Politik luar negeri Republik Indonesia
mencerminkan satu konsepsi nasional yang berasaskan Panca Sila dengan
cita-cita internasionalisme untuk kesejahteraan dunia, perdamaian
dunia, persaudaraan dunia yang didukung oleh seluruh Rakyat Indonesia” (
Tubapi, halaman 291).
b. Kesimpulan bahwa: Politik luar negeri bebas aktif Republik
Indonesia adalah “politik yang memihak, yaitu memihak kemerdekaan dan
perdamaian melawan imperialisme-kolonialisme dan perang agresif”, dan
“harus menghimpun semua kekuatan progresif di dunia dalam satu front
internasional untuk kemerdekaan dan perdamaian melawan
imperialisme-kolonialisme dan perang agresif”, dan “bahwa hanya dengan
mengikutsertakan Rakyat, politik luar negeri Republik Indonesia seperti
digariskan dalam
Membangun Dunia Kembali akan sukses” (
Tubapi, halaman 292).
PERIODISASI POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA
Untuk bisa memahami politik luar negeri RI yang progresif sekarang
ini, kita perlu mengetahui proses terjadinya politik luar negeri ini.
Sejak lahirnya RI hingga sekarang, sejarah perkembangan politik luar
negeri RI pada pokoknya dapat dibagi dalam 3 periode dengan konsep
politik luar negeri yang masing-masing berbeda satu sama lain meskipun
namanya pada pokoknya sama, yaitu politik luar negeri yang bebas.
Ketiga periode tersebut adalah:
- Periode tahun 1945 – 1952, yaitu periode politik luar negeri Sutan Syahrir dan Hatta.
- Periode tahun 1952 – 1959, yaitu periode politik luar negeri dari kabinet-kabinet Wilopo dan Ali Sastroamijoyo.
- Periode tahun 1959 sampai sekarang, periode Manipol.
1. PERIODE 1945 – 1952
Pada masa itu politik luar negeri RI disebut “bebas” dalam arti kata
“netral”, tapi bukan independen (berdiri sendiri). Pada hakikatnya
politik luar negeri demikian itu memihak Barat. Dengan politik luar
negeri demikian, di saat-saat perjuangan sengit melawan kepungan dan
agresi Belanda, maka terdapatlah suatu kontradiksi antara pergolakan
revolusioner di dalam negeri dengan politik luar negeri yang pro-Barat.
Sumber dari politik luar negeri yang reaksioner itu adalah konsepsi
Syahrir yang dapat dibaca sesudah berdiri Republik Indonesia, antara
lain bahwa: “letak Indonesia di dalam lingkungan daerah pengaruh
kapitalisme-imperialisme Inggris-Amerika. Nasib Indonesia tergantung
daripada nasib kapitalisme-imperialisme Inggris-Amerika (halaman 12).
Alangkah malangnya Rakyat Indonesia, karena menurut Sutan Syahrir,
nasibnya digantungkan pada nasib kaum imperialis Inggris-Amerika!
Selanjutnya dikatakan oleh Syahrir dalam tulisannya tersebut, bahwa
dalam batas-batas pertentangan antara kepentingan politik AS dan
politik Inggris, yang masing-masing dikatakannya ingin menggunakan
kekuasaan Belanda di Indonesia, terletak “kemungkinan untuk kita
mendapatkan kedudukan yang baru yang cocok dengan kehendak politik
raksasa Pasifik ini” (halaman 13).
Dari konsepsinya itu, Syahrir mengakui bahwa kemerdekaan yang mungkin
kita dapat tidak lebih daripada “kemerdekaan” seperti yang terlihat
pada negeri-negeri lain yang berada di bawah negara imperialis besar,
yaitu merupakan kemerdekaan dalam nama saja. Jelaslah bahwa konsepsi
politik luar negeri Syahrir hanya mengakui satu kemunginan yang tidak
lebih daripada kemerdekaan boneka model “Malaysia”, Vietnam Selatan,
atau Korea Selatan.
Kemerdekaan yang dicita-citakan Syahrir adalah kemerdekaan yang
direstui imperialis, karena katanya: “Inipun hanya bisa didapat, jika
Pemerintah RI bisa menghindarkan kekacauan yang akan mengancam
keinginan dan kemungkinan modal luar negeri”, sebab, demikian katanya
lebih lanjut, “jika dianggapnya benar-benar merugikan, ia (kaum
kapitalis luar negeri) akan mengerahkan sekalian tenaga untuk menentang
kita, serta ia akan tidak ragu-ragu menyebabkan intervensi militer
untuk membela kepentingan modalnya” (halaman 9).
Kiranya tidak perlu diragu-ragukan lagi, bahwa pikiran kapitulasi ini
pulalah yang menyebabkan Hatta mengeluarkan Manifes Politik 1 November
1945 yang menjamin akan dikembalikannya perusahaan-perusahaan
imperialis, termasuk perusahaan-perusahaan Belanda.
Pendeknya, sudah sejak semula Syahrir memegang peranan penting dalam
politik luar negeri Indonesia, ia telah menakut-nakuti Rakyat Indonesia
dengan menganjurkan supaya menyerahkan kepada imperialisme dan supaya
jangan merugikan atau membikin marah kaum imperialis. Politik
kapitulasi ini diselimuti dengan istilah “politik kekuatan ketiga”.
Apakah yang bisa diharapkan dari konsepsi politik luar negeri seperti
ini, selain daripada kapitulasi dan sekali lagi kapitulasi kepada
imperialisme?
Jadi jelaslah bahwa politik bebas Syahrir langsung bertentangan
dengan politik luar negeri yang bebas dan aktif untuk perdamaian dan
anti-kolonial yang disokong oleh Rakyat Indonesia sekarang. Syahrir
bukan pembentuk politik luar negeri Indonesia yang sekarang didukung
oleh Rakyat Indonesia, sebaliknya, ia adalah lawannya.
Politik luar negeri Sutan Syahrir yang khianat itu dilanjutkan oleh
Hatta tidak hanya melalui Manifes Politiknya, tetapi juga melalui
Mendayung di Antara Dua Karang,
pidatonya di depan BP KNIP, September 1948, yang mengatakan antara
lain, bahwa: “berhubung dengan letak tanah air kita di tengah-tengah
perhubungan internasional itu, yang masa sekarang masih dilingkungi
oleh negara-negara kapitalis, adalah suatu politik yang bijaksana bahwa
kita tidak memperbesar lingkungan musuh kita”.
Kata-kata ini diucapkan oleh Hatta justru pada saat Rakyat Indonesia
berjuang melawan imperialisme, dan ketika AS lewat
“penasihat-penasihat”-nya secara langsung mencampuri persoalan dalam
negeri Indonesia untuk mengadakan pengejaran terhadap kaum Komunis. Oleh
sebab itu menjadi jelaslah bahwa dengan “politik bebas”-nya itu, Hatta
bermaksud agar Indonesia tidak memusuhi dan tidak menimbulkan amarah
kaum imperialis. Kelanjutannya ialah karena kaum imperialis menghendaki
supaya mengejar-ngejar dan meneror kaum Komunis, maka agar kaum
imperialis tidak marah, dijalankanlah kehendak imperialis itu.
Pendeknya, politik luar negeri Syahrir-Hatta yang berpangkal pada
Perjuangan Kita dan Mendayung di Antara Dua Karang adalah
politik menyerah pada imperialisme, yang kemudian berkembang menjadi
terang-terangan anti-Komunis, dan tidak hanya menghasilkan persetujuan
“Linggarjati” dan “Renville”, tetapi juga mengakibatkan persetujuan KMB
yang ditentang kaum Komunis, bahkan terus mencapai puncaknya dalam
pemberontakan “PRRI-Permesta”. Pada hakikatnya politik Syahrir-Hatta
adalah reaksioner pro-Barat, politik menyerah kepada imperialisme.
Politik luar negeri Syahrir-Hatta meremehkan kekuatan Rakyat Indonesia
sendiri dan kekuatan anto-kolonial di dunia, dan sebaliknya menyerah
kepada intimidasi dan kehendak imperialisme. Karena itu ia sama sekali
bukanlah politik bebas, melainkan politik memihak imperialisme.
2. PERIODE 1952-1959 DENGAN KONSEP POLITIK LUAR NEGERI BEBAS YANG AGAK MAJU
Dalam periode ini, politik bebas model Syahrir-Hatta tidak bisa lagi
dipertahankan karena terbukti memang bertentangan dengan kepentingan
Indonesia dan bertentangan dengan hasrat dalam hati Rakyat Indonesia,
hal mana mencapai klimaksnya dengan perlawanan Rakyat terhadap
ditandatanganinya persetujuan MSA dengan AS yang menyebabkan pemerintah
Sukiman jatuh dalam bulan Februari 1952.
Karena itu diperlukan penyesuaian-penyesuaian tertentu dari politik
luar negeri Indonesia sehingga akhirnya dinamakan “politik luar negeri
yang bebas dan aktif menuju perdamaian”. Sejak kabinet Wilopo – kabinet
pertama sesudah KMB yang mendapat sokongan PKI, politik “bebas”
Syahrir-Hatta mulai ditinggalkan tetapi kesanggupan untuk menempatkan
Indonesia tegas-tegas ke dalam front internasional anti-imperialis dan
cinta damai belum cukup pada kabinet Wilopo, terutama karena di
dalamnya masih cukup banyak elemen-elemen Masyumi-PSI. “Politik bebas”
pada waktu itu berada dalam krisis dan terombang-ambing. Di satu pihak
adalah suatu kenyataan bahwa kepentingan Republik Indonesia memang
terletak dan terjamin dalam kerja sama dengan negara-negara kubu
sosialis dan negara-negara AA, sedang di pihak lain masih kuat
keragu-raguan dan kekhawatiran kalangan yang berkuasa untuk menentang
dan melawan imperialis. Situasi politik bebas dan aktif demikian
dikarakterisasi Ruslan Abdulgani dengan mengatakan bahwa batas kanannya
politik bebas aktif adalah “perjanjian MSA” di mana reaksi massa
Rakyat terhadap perjanjian tersebut sangat hebat hingga menjatuhkan
Kabinet Sukiman, sedangkan batas kirinya adalah
join-statement Indonesia-Uni
Soviet (1956) di mana perlawanan dari kekuatan-kekuatan yang
menentangnya ketika itu juga hebat. Politik bebas aktif hanya boleh
berlayar antara kedua batas tersebut, tidak boleh melampaui batas kanan
maupun kiri (
Mendayung dalam Taufan).
Dalam keadaan demikian, Rakyat progresif menghadapi tugas penting
untuk membantu dan mendorong Pemerintah Indonesia supaya berani dan
sanggup melawan subversi, intimidasi, intervensi dari politik perang
imperialis, melawan kolonialisme, dan berani serta sanggup bekerja sama
yang jujur dengan negeri-negeri kubu sosialis.Sesungguhnya tradisi politik luar negeri Indonesia semenjak
berdirinta Republik Indonesia adalah berdasar hubungan dan kerja sama
persahabatan dengan Timur, sekalipun Sutan Syahrir dan Hatta
merintanginya. Pembelaan pertama terhadap RI oleh wakik Soviet Ukraina
dalam PBB, D. Manuilsky ketika menghadapi agresi kolonial Belanda,
adalah salah satu sendi penting yang telah diletakkan untuk menegakkan
kedudukan Indonesia dalam dunia internasional. Ini diperkuat lagi oleh
berhasilnya perlawanan Rakyat terhadap politik pro-Barat Syahrir-Hatta
dengan diadakannya hubungan diplomatik pertama tingkat duta antara RI
dengan Republik Cekoslovakia dalam tahun 1947 dan kemudian hubungan
konsuler antara RI dengan Uni Soviet dalam bulan Mei 1948 yang
dilakukan oleh Duta Istimewa dan Menteri berkuasa penuh Suripno. Tetapi
kemudian semuanya ini dibatalkan oleh kabinet Hatta.
Negara-negara sosialis adalah pembela-pembela dan penyokong-penyokong
setia yang sejak tahun-tahun pertama revolusi sudah membela Republik
Indonesia. Ini menguntungkan Indonesia. Juga menguntungkan Indonesia,
dan tidak mungkin diabaikan arti pentingnya bantuan dan pengakuan
negara-negara Asia-Afrika pada tahun-tahun permulaan revolusi. Semuanya
ini adalah bukti bahwa sahabat-sahabat tradisional RI dan
sahabat-sahabat di waktu-waktu yang sulit adalah negara-negara Timur
(dalam artian politik bukan dalam artian geografi) dan bukan
negara-negara Barat. Tidak dapat dibantah bahwa pada saat-saat
Indonesia mati-matian melawan kolonialisme Belanda dan sekarang ini
mengganyang “Malaysia”, negara-negara Barat selamanya berdiri di pihak
musuh Indonesia. Dalam hubungan ini, saya menilai tepatnya tindakan
Pemerintah baru-baru ini yang telah meningkatkan hubungan diplomatik
dengan Republik Rakyat Demokrasi Korea dan Republik Demokrasi Vietnam.
Adalah lebih tepat lagi bila hubungan dengan Republik Demokrasi Jerman
juga segera ditingkatkan karena adalah jelas bahwa dalam masalah
“Malaysia”, Republik Federal Jerman (Jerman Barat) –dengan mana sejak
lama kita mempunyai hubungan tingkat duta besar— selalu menyokong
“Malaysia”, sedangkan dengan RDD yang selalu menyokong politik RI, kita
baru mempunyai hubungan tingkat konsulat jenderal.
KONFERENSI ASIA-AFRIKA KE-I
Atas desakan dan sokongan kekuatan-kekuatan progresif, dasar politik
yang lebih maju akhirnya dapat diletakkan, terutama oleh kabinet Ali
Sastroamijoyo yang telah berhasil mendorong lahirnya prinsip-prinsip
dasasila dan semangat Bandung yang bersejarah. Salah satu peristiwa
internasional terpenting dalam periode ini adalah Konferensi
Asia-Afrika pertama di Bandung, di mana buat pertama kali negeri-negeri
AA mulai membikin sejarahnya sendiri secara kolektif yang merupakan
perwujudan konkret dari peranan yang makin besar dan penting bagi
negara-negara AA dan di mana khususnya Indonesia muncul sebagai kekuatan
baru dan terdepan dari barusan AA tersebut.
Pengaruh Konferensi Bandung benar-benar di luar dugaan semua orang.
Pengaruh konferensi ini sangat terasa dalam perkembangan situasi
internasional. Konferensi ini adalah konferensi internasional pertama
dari negara-negara Asia Afrika yang umumnya baru saja mencapai
kemerdekaannya, tetapi yang hasilnya telah sangat meninggikan martabat
Asia-Afrika, karena ia telah memberikan sumbangan besar bagi
terpeliharanya perdamaian dunia dan memberikan dasar bagi perdamaian
dunia yang kekal abadi yaitu kemerdekaan nasional untuk semua bangsa.
Konferensi AA telah memberikan kepada dunia semangat dan
prinsip-prinsip Bandung. Dasasila Bandung, yaitu perkembangan dari
Pancasila koeksistensi secara damai. Konferensi Bandung adalah
konferensi internasional yang membicarakan nasib Asia-Afrika antara
bangsa-bangsa Asia-Afrika secara Asia-Afrika dan tanpa turut sertanya
negara-negara bukan AA yang di masa-masa lampau secara tradisional
menentukan nasib AA. Konferensi Bandung telah memberikan senjata di
tangan Rakyat AA yang masih berjuang untuk kemerdekaan nasionalnya
untuk dengan gagah berani meneruskan perjuangannya karena Bandung
menyokong tanpa
reserve semua bangsa yang berjuang untuk
mencapai kemerdekaan. Keputusan konferensi ini yang mengenai
bangsa-bangsa yang belum merdeka antara lain berbunyi: “bahwa
kolonialisme dalam bentuk yang bagaimanapun juga adalah suatu kejahatan
yang harus segera diakhiri dan menyatakan bantuannya pada perjuangan
untuk memperoleh kebebasan dan kemerdekaan bagi semua bangsa-bangsa”.
Demikianlah Konferensi Bandung telah memancarkan spektrum
kemerdekaan, perdamaian, dan kepribadian AA. Semangat Bandung
mengintegrasikan diri dengan Rakyat. Bahwa keputusan Bandung sesuai
dengan aspirasi-aspirasi nasional Rakyat AA ini ternyata dari munculnya
bermacam-macam organisasi dan konferensi-konferensi Rakyat-Rakyat AA
seperti: Organisasi Setia Kawan Rakyat Asia-Afrika (OSRAA), Konferensi
Mahasiswa AA, Konferensi Buruh AA (dalam persiapan), Konferensi
Wartawan AA, Konferensi Ahli Hukum AA, Konferensi Wanita AA, Festival
Film AA, Konferensi Islam AA (dalam persiapan), dan lain-lain.
Konferensi-konferensi ini sangat besar artinya dalam mengkonsolidasi
dan mengembangkan semangat dan prinsip-prinsip Bandung, setia kawan
negara-negara dan Rakyat AA semakin berkembang. Ini juga tercermin dalam
kerja sama AA di PBB. Dengan cepat terdapat pengaruh timbal balik
antara makin kuatnya kesetiakawanan AA di tingkat negara-negara dengan
gerakan Rakyat-Rakyat AA.
Pengaruh semangat Bandung terutama terlihat secara mencolok dengan
makin meningkatnya perjuangan Rakyat Afrika untuk kemerdekaan
nasionalnya. Konferensi Addis Ababa, yaitu suatu konferensi dari
Organisasi Persatuan Afrika (OPA) telah berhasil memperkuat solidaritas
antara negeri-negeri Afrika dan menggagalkan segala usaha kaum
imperialis untuk memecah belah. Konferensi ini adalah usaha konsolidasi
yang konkret daripada Konferensi Bandung, yaitu aksi dan koordinasi,
dan merupakan pukulan yang hebat terhadap kaum imperialis, kaum
kolonialis, dan neo-kolonialis.
“Ya, pohon semangat Bandung akarnya sudah semakin masuk tanah!
Daunnya semakin rindang! Bunganya semakin semarak! Buahnya semakin
banyak dan lezat! Solidaritas AA sudah bertambah kokoh, dan ini
merupakan gunung karang yang membikin kandasnya setiap percobaan
reaksioner dan kontrarevolusioner dari Nekolim”, demikian Presiden
Sukarno (
Tavip, halaman 43).
3. PERIODE 1959 SAMPAI SEKARANG (PERIODE MANIPOL)
Politik luar negeri RI sejak tahun 1959, jadi sejak Manipol, adalah
politik luar negeri yang progresif revolusioner, karena ia sesuai
dengan semangat perjuangan Rakyat Indonesia dewasa ini untuk
mengganyang imperialisme, kolonialisme, dan neo-kolonialisme dan sesuai
dengan kerangka ketiga Manipol. Kalau salah satu zenialitas Bung Karno
dalam politik dalam negeri dibuktikan oleh gagasan NASAKOM, maka salah
satu zenialitas Bung Karno dalam politik luar negeri dibuktikan oleh
gagasan NEFO kontra OLDEFO. Dengan politik luar negeri Manipolis untuk
menggalang kekuatan NEFO dan mengganyang OLDEFO, Indonesia dapat
mempengaruhi perkembangan situasi internasional dan Indonesia dapat
menempati kedudukan yang berpengaruh di kalangan negeri-negeri Afrika,
Asia, dan Amerika Latin, yaitu dalam poros NEFO. Di samping konsepsi
NEFO kontra OLDEFO, dalam periode ini lahir pula konsepsi-konsepsi dan
semboyan-semboyan politik yang jelas dan tegas seperti “kita cinta
perdamaian tetapi lebih cinta kemerdekaan”, “bebas dalam politik,
berdiri di atas kaki sendiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam
kebudayaan”, “NEFO dengan poros AAA lawan Nekolim”, dan lain-lain.
Perlu kiranya dikemukakan di sini bahwa meskipun saya menyatakan
periode ini sebagai periode yang melahirkan konsepsi-konsepsi politik
luar negeri yang progresif revolusioner namun banyak benih-benih
lahirnya konsepsi-konsepsi itu sudah jauh lebih dahulu ditaburkan.
PIKIRAN-PIKIRAN BUNG KARNO SEBAGAI LANDASAN
Kita semuanya mengetahui bahwa mengenai soal-soal hubungan
internasional, dan soal-soal politik luar negeri, Bung Karno sudah
banyak meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendinya dalam pikiran-pikiran
beliau dari zaman sebelum Indonesia merdeka dan dalam pengabdiannya
kepada kelanjutan revolusi, dikembangkan lebih lanjut dalam bentuk
konsepsi politik yang baru dan sesuai dengan perkembangan zaman.
Kita tentunya ingat akan ajaran Bung Karno dalam tulisannya yang terkenal
Mencapai Indonesia Merdeka,
31 tahun yang lalu, di mana ditegaskan bahwa: “imperialisme yang
merajalela di Indonesia hanyalah bisa kita kalahkan dengan
selekas-lekasnya kalau kita berjabatan tangan dengan bangsa-bangsa Asia
di luar pagar”.
Hal ini tidak bisa lain karena kata Bung Karno selanjutnya dalam
tulisannya itu: “Raksasa modern imperialisme yang ada di sini, ini
bukan lagi raksasa biasa, tetapi sudah menjelma menjadi raksasa Rahwana
Dasamuka yang sepuluh kepala dan mulutnya: badannya imperialisme
Belanda tetapi badan ini memikul kepala imperialisme Inggris, kepala
imperialisme Amerika, kepala imperialisme Jepang, Perancis, Jerman,
Italia, dan lain-lain”.
Oleh karenanya, demikian Bung Karno selanjutnya: “.....jikalau
raksasa-raksasa imperialis bekerja bersama-sama, maka marilah
kita, korban-korbannya raksasa imperialisme itu juga bekerja bersama-sama. Marilah
kita juga mengadakan eenheidsfront daripada prajurit-prajurit kemerdekaan Asia” (
Di Bawah Bendera Revolusi, halaman 294-296).
Bukankah ini sendi bagi kerja sama AA yang sedang kita konsolidasi sekarang ini?
Kita ingat semboyan politik Bung Karno yang amat besar daya
mobilisasinya “kita cinta perdamaian, tetapi lebih cinta kemerdekaan”.
Semboyan ini lahir dalam pidato Bung Karno pada peringatan Hari
Proklamasi 1948, dan dikembangkan lebih lanjut dalam ajaran beliau yang
menegaskan bahwa dengan imperialisme, kita hanya bisa berbicara bahasa
kekuatan, karena imperialisme tidak aan mengundurkan diri dengan
sukarela, tetapi harus kita tendang keluar. Dari semula Bung Karno sudah
mendidik kita untuk jangan mempunyai ilusi terhadap imperialisme
tetapi selalu menjalankan sikap dan politik konfrontasi terus-menerus
terhadapnya “as a matter of principle”, di manapun juga timbul masalah.
Dalam praktik memimpin revolusi, keteguhan prinsip anti-imperialisme
ini selalu dipegang teguh oleh Bung Karno, bahkan dalam menjalankan
taktik-taktik perundingan sekalipun, jika hak demikian perlu dilakukan.
Sesuatu perundingan hanya bisa menguntungkan kita bila di belakangnya
ada kekuatan, kekuatan persatuan Rakyat yang kokoh dan kekuatan
senjata.
Dalam pelaksanaannya, Bung Karno selalu mewejangkan perlu mutlaknya
mengenal dan dapat membedakan siapa kawan dan siapa lawan, agar tidak
salah menjalankan teknik perjuangan untuk selalu bersatu dan
berkonsultasi dengan kawan dan berkonfrontasi terhadap lawan. Di
sinilah tepatnya Manikebu dilarang, karena justru Manikebu bertujuam
mengaburkan siapa kawan dan siapa lawan.
Dalam perkembangan selanjutnya, pikiran-pikiran Bung Karno mengenai
soal-soal politik internasional akhirnya sampai kepada konsepsi yang
ilmiah, yaitu yang menyimpulkan terbaginya dunia dan umat manusia dalam
dua golongan atau kubu, yaitu: “the old established forces of
imperialist domination” (kekuatan yang sedang bercokol dari dominasi
imperialis) dan “the new emerging forces” (kekuatan yang sedang tumbuh),
di mana negeri-negeri Asia, Afrika, dan Amerika Latin tergolong
bersama dengan negara-negara Sosialis dan semua kekuatan progresif di
negeri-negeri kapitalis. Kaum Komunis Indonesia berpendapat bahwa
perumusan NEFO adalah perumusan yang sepenuhnya sesuai dengan semboyan
V. I. Lenin: “Kaum buruh semua negeri dan nasion-nasion tertindas,
bersatulah”. Dengan demikian semboyan NEFO kontra OLDEFO itu adalah
juga sesuai dengan ajaran Marxisme-Leninisme.
Saya berpendapat bahwa pikiran-pikiran Bung Karno yang sudah
dipakukan dalam konsepsi-konsepsi resmi, dalam Pancasila, Manipol,
serta pedoman-pedoman pelaksanaannya, Tavip, dan lain-lain dokumen,
sudah semestinya dijadikan landasan bagi kita dalam memahami dan
mengembangkan lebih lanjut konsepsi-konsepsi politik luar negeri
Indonesia yang progresif revolusioner, dan mengalahkan
konsepsi-konsepsi yang reaksioner.
NEFO KONTRA OLDEFO
Seperti telah dikemukakan di atas “politik luar negeri bebas aktif
Republik Indonesia adalah politik yang memihak, yaitu memihak
kemerdekaan dan perdamaian melawan imperialisme, kolonialisme, dan
perang agresif”, dan “menghimpun semua kekuatan progresif di dunia
dalam satu front internasional untuk kemerdekaan dan perdamaian melawan
imperialisme, kolonialisme, dan perang agresif”. Pengertian ini dalam
pidato Presiden di KTT Non-Blok Beograd telah dirumuskan menjadi
konsepsi NEFO lawan OLDEFO. Konsepsi ini merupakan suatu prestasi yang
sangat penting dalam pengembangan politik luar negeri Republik
Indonesia.
Politik luar negeri ini dalam percaturan internasional menurut
kenyataannya telah menempatkan RI dalam posisi yang cukup berpengaruh
di kalangan negara-negara AAA dan NEFO. Kalau Indonesia sekarang
dihormati oleh bangsa-bangsa lain, maka hal itu adalah karena
politiknya yang anti-imperialis,
tidak non-committed, dan
tidak anti-kubu Sosialis, tetapi bersama-sama dengan negeri-negeri
Sosialis, negeri-negeri yang baru merdeka dan kekuatan progresif lainnya
di seluruh dunia melawan imperialisme, kolonialisme, dan
neo-kolonialisme.
Adalah tepat sekali pendapat Bung Karno bahwa “bukan saja solidaritas
Afrika-Asia yang kokoh, tetapi juga solidaritas NEFO, yang melingkupi
Tritunggal, negara-negara sosialis, negara-negara yang baru merdeka,
dan kekuatan progresif di negara-negara kapitalis, solidaritas NEFO
inipun makin menjelma, makin tumbuh makin kokoh. Ketika saya mengoreksi
teori ‘tiga kekuatan dan kekuatan ketiga’, dan melantunkan teori NEFO
kontra OLDEFO, ada orang-orang malahan ada sebagian di antara
kawan-kawan kita sendiri, yang tidak segera mengertinya, dan mengira
bahwa teori NEFO itu ‘tidak ada isinya’. Dasar mereka orang-orang yang
tidak mempunyai penglihatan sejarah! Sekarang bukan saja GANEFO pertama
sukses besar, tetapi ofensif NEFO di bidang politik, ekonomi, kultur,
dan militer mencapai kemenangan-kemenangan dari hari ke hari pada skala
internasional” (
Tavip, halaman 43-44).
SOAL-SOAL NON-BLOK, KOEKSISTENSI DAMAI, DAN GEOPOLITIK
1. SOAL-SOAL NON-BLOK
Berhubung dengan aktualnya konferensi non-blok di Kairo baru-baru
ini, dan pula berhubung dengan kemenangan penting yang dicapai politik
anti-nekolim yang dipelopori oleh perutusan Indonesia di bawah pimpinan
Bung Karno, ingin saya berbicara lebih banyak tentang soal non-blok.
Apakah non-blok itu?
Pada mulanya konsepsi non-blok merupakan edisi yang diperbaharui dari
konsepsi netralitas. Konsepsi ini sesungguhnya didasarkan atas suatu
tafsiran fundamental tentang dikuasainya dunia oleh dua blok negara
besar, yaitu blok negara besar AS yang kapitalis, dan blok negara besar
Uni Soviet yang sosialis. Tafsiran ini juga menyatakan bahwa dunia ini
dikuasai oleh ideologi yang saling bertentangan, yaitu “Declaration of
Independence” dari Thomas Jefferson yang liberal dan kapitalis, dan
ideologi “Manifes Komunis” dari Marx dan Engels yang sosialis itu.
Dengan tidak meninjau lebih dalam perbedaan-perbedaan antara kedua
blok dan kedua ideologi itu, artinya dengan mempersamakan begitu saja
kedua blok dan ideologi itu sebagai yang sama-sama menjalankan “power
politics” dan menimbulkan perang dingin, maka konsepsi non-blok
mengambil sikap tidak mau masuk dalam salah satu dari dua blok tersebut
dan hendak berdiri sendiri. Terang tidak ilmiahnya serta ngacaknya
teori non-blok itu, karena menyamakan begitu saja Sosialisme dengan
kapitalisme.
Di samping itu pendapat yang menyatakan bahwa AS dewasa ini mewakili
“Declaration of Independence” dari Thomas Jefferson adalah tidak tepat,
karena, dewasa ini justru AS mencederai Declaration tersebut. Sudah
lama AS membuang panji Declaration tersebut dan justru negara-negara
AAA-lah yang memungut panji tersebut dan mengibarkannya tinggi-tinggi
dalam mengusir penguasa asing dari negeri masing-masing, terutama
mengusir AS.
Maka itu politik non-blok yang berpangkal pada pendirian yang
mempersamakan kapitalisme dengan Sosialisme, pada hakikatnya adalah
munafik dan reaksioner karena menghamba kepada imperialisme.
Sikap non-blok patriotik negara-negara Afrika
Konsepsi non-blok bisa mendapat sambutan baik dari negara-negara yang
memang jujur menginginkan bebas berdiri sendiri sebagai sewajarnya
suatu negara merdeka. Sikap demikian misalnya banyak dianut oleh
negara-negara Afrika dewasa ini. Negara-negara di Afrika yang berjuang
untuk kemerdekaan nasional, untuk lepas dari cengkeraman imperialisme,
kolonialisme, dan neo-kolonialisme, juga menyatakan diri non-blok.
Politik non-blok yang demikian mempunyai arti patriotik dan progresif,
karena bersifat anti-nekolim. Politik ini dapat menjadi komponen yang
komplementer terhadap semangat Bandung, Negara-Negara Afrika yang baru
merdeka banyak yang belum dapat mengalami dan belum dapat menyadari
bahwa konsepsi non-blok dalam praktik yang sesungguhnya bisa tidak
sejujur yang mereka kira. Mereka tentu belum dapat memahami bahwa
konsepsi non-blok ini dapat membingungkan pengenalan tentang siapa
kawan dan siapa lawan dalam percaturan internasional.
Soal blok ketiga
Berbagai uraian penganjur konsepsi non-blok ini menekankan bahwa
kelompok negara non-blok tidak bermaksud membentuk blok ketiga di
samping dua blok yang sudah ada. Hal ini dari semula sesungguhnya sudah
tidak masuk akal, karena di satu pihak dikatakan bahwa negara-negara
non-blok hendak merupakan kekuatan tersendiri di luar dua blok kekuatan
di dunia yang ada, sedangkan di pihak yang lain dikatakan bahwa blok
kekuatan dunia yang tersendiri itu bukanlah blok ketiga. Kalau orang
bicara dalam ukuran dua blok yang hanya meliputi sebagian saja dari
umat manusia, maka otomatis bagian selebihnya dari dunia yang satu ini,
merupakan blok yang lain, blok yang ketiga. Tidak jadi soal apakah
formal dikatakan demikian atau tidak.
Keruwetan dalam pemikiran politik ini yang sesungguhnya dilahirkan
oleh teori non-blok dan yang dengan sendirinya dapat meruwetkan pula
perjuangan anti-imperialis bangsa-bangsa AA, telah dengan tepat
disadari dan dikoreksi oleh Bung Karno sendiri yang menegaskan bahwa
dunia bukannya terbagi dalam tiga blok, tetapi terbagi dalam 2 blok,
yaitu blok NEFO dan OLDEFO. Tempatnya Asia-Afrika adalah dalam blok NEFO
bersama dengan negeri-negeri Sosialis dan kekuatan-kekuatan progresif
lainnya di dunia. Koreksi Bung Karno ini seperti dinyatakan dalam
pidatonya pada Hari Sarjana 29 September 1962, lengkapnya adalah
sebagai berikut:
“Di dalam pidato 17 Agustus 4 tahun yang lalu, saya mencoba corrigeer
ucapan Bertrand Russel ini dengan berkata, salah meneer Bertrand
Russel, dunia bukan sekadar dua blok, tetapi ada blok nomor tiga, yaitu
bloknya bangsa-bangsa Asia dan Afrika yang ingin membebaskan diri,
bloknya negara-negara yang berpolitik bebas dan aktif. Belakangan
Saudara-Saudara, di dalam konferensi non-committed nations di Beograd,
saya keluar dengan formulering baru yaitu formulering bahwa manusia,
umat manusia di dunia sekarang ini terpecah menjadi 2 golongan,
golongannya ‘NEFO’ dan golongannya ‘OLDEFO’. Dan NEFO itu
Saudara-Saudara, ialah golongannya negara, Rakyat Asia, Afrika, Amerika
Latin, negara-negara Sosialis, pendeknya golongannya manusia-manusia
yang jumlahnya tiga perempat dari umat manusia ini yang menghendaki
keadilan, yang menghendaki kemerdekaan, yang menghendaki hidup layak.
Dan sekarang saya mengira bahwa saya punya formulering atau saya punya
analisis ini adalah paling tepat, artinya lebih tepat daripada analisis
saya yang dulu bahwa dunia ini terdiri daripada tiga golongan. Dua
golongan daripada Bertrand Russel, satu golongan yang saya seselkan atau
selipkan antara dua ini. Saya pikir sebentar sebelum konferensi
Beograd, bahwa lebih tepat saya bikin dua golongan OLDEFO dan NEFO”.
Demikian pelempangan pikiran yang amat menyegarkan dan menjernihkan
yang diberikan oleh Bung Karno terhadap keruwetan-keruwetan pengertian
yang ditimbulkan oleh teori non-blok. Dengan dibagi habisnya dunia
dalam dua blok saja, maka otomatis tidak ada masalah tentang blok yang
lain.
Bukan soal pertentangan ideologi
Pelempangan pikiran yang diberikan oleh Bung Karno yang pertama-tama
diucapkan justru di Beograd, secara teori didasarkan pada analisis yang
tepat dari Bung Karno yang mengatakan sebagai berikut: “Pendapat dunia
sekarang ini ingin meyakinkan kita bahwa sumber-sumber sebenarnya
daripada ketegangan dan perselisihan internasional adalah sengketa
ideologi negara-negara besar. Saya rasa itu tidak benar. Ada suatu
sengketa yang lebih parah mengiris daging umat manusia, yaitu sengketa
antara kekuatan baru yang bangkit untuk kemerdekaan dan keadilan melawan
kekuatan-kekuatan penjajahan yang lama”.
Selanjutnya beliau mengatakan: “Dalam setiap peristiwa, sebab dan
akar daripada ketegangan internasional adalah imperialisme dan
kolonialisme dan pemisahan bangsa-bangsa secara kekerasan”.
Peringatan Bung Karno ini baik dicamkan oleh pembantu-pembantu
imperialisme di negeri kita yang terus-menerus menyebar perpecahan dan
permusuhan dengan menonjol-nonjolkan perbedaan ideologi.
Konsepsi non-blok dapat menimbulkan ilusi terhadap imperialisme
Berdasarkan kekaburan pandangan tentang batas-batas antara kawan dan
lawan yang ditimbulkan oleh teori non-blok itu, maka konsepsi non-blok
sesungguhnya menganjurkan suatu ilusi yang berbahaya terhadap
imperialisme, suatu ilusi yang membebaskan imperialisme dari tunjukan
hidung sebagai “sebab dan akar daripada ketegangan internasional”.
Tidakkah berbahaya sekali apabila Rakyat tidak dapat mengenal
imperialisme sebagai justru biang keladi dari ketegangan-ketegangan
dunia?
Berdasarkan hal-hal tersebut di atas itu, maka konsepsi non-blok
dengan sendirinya tidak dapat melihat tergantungnya keamanan dan
perdamaian dunia sebagai sesuatu yang bersumber pada imperialisme,
tetapi bersumber pada “hubungan antara dua negara besar”. Akibatnya
ialah bahwa, untuk mencapai perdamaian dunia yang kekal, orang harus
“berseru dan mengharap kepada dua negara besar akan kebaikan hatinya
untuk meniadakan perang”.
Approach yang non-politis dan
berilusi ini mengartikan perdamaian sebagai sekadar tiadanya perang,
suatu pengertian yang tidak dapat dipergunakan sebagai pedoman aksi
bagi gerakan Rakyat revolusioner.
Keabstrakan konsepsi non-blok tentang masalah perdamaian ini
kelihatan jelas sekali apabila dibandingkan dengan ajaran konkret Bung
Karno yang menegaskan bahwa “dalam abad ke-XX ini, perdamaian yang
abadi mempunyai arti yang lebih daripada terbayangnya ketiadaan
perang”, dan bahwa “perdamaian abadi, ialah lebih daripada hanya
ketiadaan perang, tetapi penghapusan sebab-sebab pokoknya, dengan
pemberantasan imperialisme, kolonialisme, dan bentuk lain daripada
penindasan asing, dan pelaksanaan keadilan sosial di antara manusia dan
di antara bangsa-bangsa dalam bentuk positif” (
Amanat pada pembukaan KWAA, 24 April 1963).
Non-blok menghindari konfrontasi terhadap imperialisme
Menjadi jelas kiranya bahwa pada hakikatnya konsepsi non-blok ini
berarti menghindari konfrontasi terang-terangan terhadap imperialisme
dan menutup-nutupi problem yang sesungguhnya dari dunia sekarang, yaitu
bahwa tiadanya perdamaian dan keamanan di dunia adalah karena
imperialisme. Konsepsi non-blok ini berbahaya, amat berbahaya sekali,
bagi perlawanan dan solidaritas anti-imperialis dari bangsa-bangsa
seperti yang diperjuangkan oleh Konferensi Bandung dan oleh politik
luar negeri Indonesia.
Dalam praktik politik internasional, konsepsi non-blok ini dengan
sadar atau tidak, dipergunakan oleh negara-negara anti-Bandung sebagai
alat dan saluran politik untuk memfitnah aksi-aksi solidaritas
anti-imperialis Asia-Afrika seperti yang banyak diambil inisiatifnya
oleh Indonesia. Kaum non-blok anti-Bandung memfitnah Indonesia sebagai
bangsa yang suka membikin onar dan tidak mau hidup berdampingan secara
damai.
Sebaliknya mereka menjadikan konsepsi non-blok mereka yang tidak
anti-imperialis itu sebagai penganjur koeksistensi damai yang sejati.
Mereka memfitnah prinsip-prinsip dan semangat Bandung sebagai garis
politik yang mau perang saja, sedangkan konsepsi non-blok mereka
sajikan sebagai politik perdamaian yang sejati.
Amat menarik dalam hubungan ini, bahwa pers di negeri-negeri
imperialis umumnya mengkualifikasi Indonesia dan Presiden Sukarno yang
menjadi pelaksana utama dari prinsip Bandung sebagai “the trouble maker
of Asia” (tukang bikin ribut di Asia), sedangkan mendiang Nehru
pelaksana utama dari politik non-blok munafik sebagai “the great leader
of Asia” (pemimpin besar Asia).
Menjadi jelas pula kiranya mengapa negara-negara non-blok seperti
Yugoslavia dan India itu bersikap membela dan memihak kepada negara
boneka “Malaysia” dan mengutuk serta memusuhi politik konfrontasi
Indonesia.
Saya berpendapat bahwa semangat Bandung mewakili pelaksanaan dari
semboyan patriotik “kita cinta damai, tetapi lebih cinta kemerdekaan”,
sedangkan non-blok munafik mewakili pelaksanaan dari semboyan abstrak
“kita cinta damai” titik.
Dua aspek non-blok
Demikian kita melihat adanya dua aspek dalam konsepsi non-blok. Satu
aspek ialah aspek yang berhasrat dan bersemangat jujur dan patriotik
untuk sungguh-sungguh berdiri sendiri bebas dari dominasi ikatan-ikatan
eksternal negara-negara imperialis, seperti yang kita kenal banyak
dianut oleh negara-negara Afrika yang baru merdeka. Aspek yang lain
ialah aspek reaksioner yang menipu dan sesungguhnya dalam hakikatnya
merupakan suatu politik neo-kolonialis dalam skala internasional.
Sedangkan negara-negara non-blok dari aspek yang progresif adalah
kawan seperjuangan sejati dari Indonesia dan negara-negara Bandung,
maka negara-negara non-blok dari aspek yang reaksioner sesungguhnya
merupakan pembantu-pembantu politik dari imperialisme untuk melunakkan,
untuk menipu dan menyelewengkan semangat Bandung, dan oleh karenanya
bukan merupakan sahabat-sahabat perjuangan Indonesia.
Adanya aspek progresif dari negara-negara non-blok sesungguhnya
merupakan suatu gejala politik yang bersifat sementara. Dalam
perkembangan selanjutnya, negara-negara ini akan mengambil salah satu
jalan perkembangan dari dua alternatif yang tersedia, yaitu atau
mengambil jalan ke arah politik non-blok yang reaksioner, atau mengambil
jalan yang progresif sesuai dengan semangat Bandung, sesuai dengan
konsepsi NEFO kontra OLDEFO.
Konferensi non-blok sebagai forum konfrontasi
Dalam keadaan demikian, dapat dipahami apabila Pemerintah Indonesia
bersikap menerima undangan untuk ikut serta dalam konferensi non-blok,
dengan pendirian bahwa bagi Indonesia konferensi itu merupakan forum
internasional untuk melakukan konfrontasi politik dan memenangkan
prinsip-prinsip dan semangat politik luar negeri Indonesia seperti
sudah diuraikan di atas, sehingga mengiri wadah yang dinamakan non-blok
itu dengan semangat Bandung. Hanya dengan demikian, tiap-tiap
konferensi negara-negara non-blok bisa ditransformasi menjadi komponen
yang komplementer dan pelengkap bagi perjuangan untuk ide-ide Bandung.
Adalah sangat menggembirakan bahwa KTT non-blok di Kairo telah
mencapai sukses besar. Bung Karno dengan pidatonya “The Era of
Confrontation” telah berhasil dengan gemilang memenangkan panji
revolusioner dan anti-nekolim dari politik luar negeri Indonesia untuk
memperkokoh NEFO berporoskan AAA melawan nekolim, untuk revolusi,
kemerdekaan nasional, dan perdamaian dunia.
Politik non-blok munafik dan politik koeksistensi yang berkapitulasi
kepada nekolim dan yang dipelopori oleh Yugoslavia dan India, mengalami
kegagalan yang memalukan.
Semangat KTT Kairo seperti yang didemonstrasikan oleh semangat
delegasi negara-negara AAA pada umumnya adalah benar-benar semangat
zaman kita sekarang, ialah
The Era of Confrontation.
2. TENTANG KOEKSISTENSI SECARA DAMAI
Salah satu masalah lagi yang juga aktuil dewasa ini adalah masalah
koeksistensi secara damai, atau hidup berdampingan secara damai antara
negara-negara dengan sistem sosial dan politik yang berbeda-beda.
Sebagaimana terhadap masalah non-blok, terhadap inipun ada dua
pendirian yang berbeda, yang munafik dan yang progresif.
Pendirian yang munafik mengertikan koeksistensi secara damai itu
dalam pengertian yang absolut, sehingga katanya, pun terhadap
imperialisme yang menghisap, menindas, mengagresi secara tidak damai
terhadap Rakyat-Rakyat tetap harus berlaku koeksistensi secara damai.
Yang progresif adalah seperti apa yang dikemukakan oleh Presiden
Sukarno dalam KTT Non-Blok di Kairo baru-baru ini. Mengingat pentingnya
bagian pidato tersebut agar bisa memberikan arti dan isi yang tepat
terhadap koeksistensi secara damai maka akan saya kutip dengan agak
panjang:
“Pada mulanya seperti saudara-saudara ketahui, koeksistensi secara
damai merupakan suatu istilah yang dihubungkan dengan perang ideologi,
yakni perang antara ideologi-ideologi kapitalis dan komunis.....Di
Beograd sudah saya katakan bahwa perselisihan ideologis tidak perlu
mengakibatkan ketegangan, tidak boleh mengakibatkan ketegangan. Oh
tidak! Dalam abad kita, ideologi-ideologi tidak akan menimbulkan
perselisihan antara negara-negara besar yang mengantar ke arah suatu
perang dunia. Apa yang membahayakan perdamaian dunia ialah perselisihan
mengenai kepentingan-kepentingan nasional di bidang internasional,
baik secara bilateral maupun multilateral. Inilah sumber-sumber dari
mana suatu perang dunia dapat berkobar.”
“Perselisihan ideologi hanyalah suatu samaran untuk melibatkan mereka
yang tidak berdosa di satu atau lain pihak, karena kekuatan-kekuatan
imperialis berusaha atau mencoba untuk mempertahankan dominasi mereka
atas dunia.....Sudah tentu soal dalam acara ini perlu mendapat
perhatian kita sepenuhnya, tapi saya kemukakan dalam suatu arah yang
lain.....Dan masalah itu, ialah masalah koeksistensi secara damai yang
gawat antara kekuatan-kekuatan penjajah yang lama dan negara-negara baru
yang sedang berkembang. Perkenankanlah saya untuk mengemukakan
beberapa persoalan untuk menunjukkan kepada Saudara-Saudara ke arah
mana pikiran-pikiran saya membelok.”
“Bagaimana sesuatu bangsa dapat hidup berdampingan secara damai
dengan sesuatu kekuatan asing yang mendominasi politiknya? Bagaimana
suatu bangsa bisa hidup berdampingan secara damai dengan negara-negara
yang mencegahnya dari membangun sistem sosial dan ekonomi yang cocok
dengan kepribadian nasionalnya? Lihatlah basis-basis militer yang
tersebar di seluruh dunia!.....”
“Pangkalan-pangkalan asing ini Saudara-Saudara, dikatakan untuk
maksud membendung arus ideologi-ideologi asing. Tapi ini adalah omong
kosong! Lihatlah bagaiaman mereka dipergunakan sekarang. Mereka itu
dipergunakan terhadap negara-negara yang baru berkembang. Mereka
dipergunakan untuk menyelamatkan kepentingan-kepentingan tata tertib
imperialis yang lama. Mereka dipergunakan sebagai alat utama
kepentingan-kepentingan imperialis di negeri-negeri yang baru
berkembang.”
“.....Bagaimana koeksistensi damai dapat dilaksanakan dalam
peristiwa-peristiwa yang demikian itu. Ah tidak! Koeksistensi damai
bukanlah masalah antara negara-negara yang kekuatannya sama.
Koeksistensi damai adalah masalah antara negara-negara yang kekuatannya
tidak sama, terutama karena kekuatan-kekuatan imperialis menggunakan
kekuatan-kekuatan mereka untuk mendominasi negara yang sedang berkembang
yang lebih lemah. Agar koeksistensi damai dapat dilaksanakan,
syarat-syarat bagi pelaksanaannya haruslah diletakkan, seperti halnya
Moskow dan Washington telah meletakkan syarat-syarat, karena
koeksistensi damai tidaklah daoat dipaksakan! Saya ulangi: koeksistensi
damai tidak dapat dipaksakan – koeksistensi damai memerlukan suatu
keseimbangan, ---suatu keseimbangan kekuatan. Koeksistensi damai
bukanlah suatu/paham untuk dilaksanakan secara dibuat-buat tanpa
mempedulikan segala sesuatu apapun. Koeksistensi damai harus dan selalu
harus dilaksanakan dengan syarat kekuatan yang nyata.”
“Koeksistensi damai antara kita, negara-negara yang sedang
berkembang, dan negara-negara imperialis akan bisa diadakan hanya
apabila kita dapat menghadapi mereka ini dengan kekuatan-kekuatan yang
sama. Dan kekuatan yang sama itu kita dapat mencapainya hanya melalui
setia kawan di antara kita. Janganlah sampai ada kekeliruan tentang hal
itu! Kita tidak mempunyai alternatif bagi setia kawan.”
Demikianlah sedikit kutipan dari pidato Presiden Sukarno. Dengan
hidup berdampingan secara damai, kita harus memperkuat diri, barisan
NEFO harus diperkuat, negara-negara yang baru merdeka harus tetap
diperkuat, dan kekuatan-kekuatan progresif di negara-negara kapitalis
juga harus terus diperkuat.
Dari uraian-uraian di atas, jelaslah bahwa koeksistensi damai tidak
bisa diartikan secara mutlak. Koeksistensi secara damai tidak berarti
bahwa kapitalisme harus tetap ada, bukan untuk melanggengkan sistem
kapitalisme, karena tujuan kita ialah membangun dunia kembali yang
bersih dari
l’exploitation de l’homme par l’homme. Antara
Rakyat-Rakyat jajahan dan kolonialisme dan demikian pula antara
negara-negara yang baru berkembang dengan nekolim tidak mungkin
diadakan koeksistensi secara damai, justru karena watak agresif dari
nekolim itu sendiri.
3. PANDANGAN POLITIK LUAR NEGERI INDONESIA, BUKAN PANDANGAN GEOPOLITIK
Berhubung dengan politik luar negeri Indonesia sangat mementingkan
setia kawan Asia-Afrika, ada orang yang mengira bahwa pandangan politik
luar negeri Indonesia adalah pandangan geopolitik. Pikiran ini adalah
keliru sekali. Faktor geografi dan alam memang memegang peranan, tetapi
bukanlah faktor yang menentukan. Misalnya, sejarah umat manusia sudah
mengenal adanya 5 sistem sosial, yaitu komunisme primitif, perbudakan,
feodalisme, kapitalisme, dan Sosialisme, tetapi selama berabad-abad di
mana sistem sosial itu berubah-ubah, negeri-negeri besar timbul dan
tenggelam di berbagai bagian dunia, pusat-pusat peradaban
berpindah-pindah, tapi geografi dan alam pada pokoknya tidak berubah.
Geopolitik, pada asasnya adalah satu pandangan penggunaan ilmu bumi
untuk menentukan strategi dan politik bertujuan membenarkan ekspansi
bagi negara-negara imperialis, dan sebaliknya bagi negara-negara yang
menjadi objek ekspansi imperialis itu geopolitik bertujuan membenarkan
kapitulasi atau politik menyerah kepada ekspansi imperialis itu. Karena
itu geopolitik sepenuhnya merupakan pandangan yang mengabdi kepada
imperialisme.
Salah seorang eksponen utama pandangan geopolitik ini ialah Sir
Hafford John Mac Kinder (1861-1947) seorang ahli ilmu bumi Inggris.
Menurut teori Mac Kinder siapa yang berhasil menguasai apa yang dia
namakan “bulan sabit luar” (outer crescent), yaitu kepulauan-kepulauan
yang berdekatan dengan pantai daratan luas Eropa-Asia (Inggris sendiri,
lautan Tengah, kepulauan-kepulauan di lautan Hindia, kepulauan
Indonesia, Filipina, sampai ke Jepang), dan juga dapat menguasai apa
yang dinamakan “bulan sabit dalam” (inner crescent), yaitu negara-negara
yang terletak di tepi daratan luar Asia-Eropa itu (termasuk Eropa,
Timur Tengah, India, dan Tiongkok), akan berhasil pula menguasai apa
yang dinamakan “daerah poros”, “daerah jantung” atau “heart-land”,
yaitu Rusia (sekarang Uni Soviet), dan akan juga berhasil menguasai
seluruh dunia.
Pandangan geopolitik juga dipergunakan oleh seorang militeris Jerman,
Karl Haushofer (1869-1946), seorang inspirator utama politik
ekspansionisme kaum fasis Jerman. Berdasarkan suatu pembagian dunia
yang secara sewenang-wenang dia mendesak supaya dunia ditempatkan di
bawah kekuasaan Jerman dan Jepang.
Kaum militeris Amerika Serikat juga sangat sibuk dengan perkembangan
pandangan geopolitik, misalnya Nichols Spykman, yang justru banyak
mempergunakan teori Mac Kinder untuk mengilhami politik agresi AS guna
mengepung Uni Soviet dengan pangkalan-pangkalan perang dan guna
berusaha menghancurkan negeri Sosialis itu.
4. PANDANGAN GEOPOLITIK MENGEBIRI POLITIK LUAR NEGERI RI YANG ANTI-IMPERIALIS
Pandangan geopolitik mengebiri politik luar negeri kita karena
meniadakan ciri-ciri anti-imperialisme yang merupakan ciri terpokok.
Soal menjadi tetangga, demikian pula soal persamaan ras atau berasal
dari satu rumpun bangsa tidak bisa dipergunakan sebagai dasar politik
luar negeri kita. Hendaknya hal ini diperhatikan benar-benar dalam
menghadapi usaha-usaha yang sedang dilakukan untuk mencapai kerja sama
yang berbentuk suatu konfederasi yang dinamakan Maphilindo. Sudah
jelas, bahayanya ialah bahwa dasar “tetangga”, “satu ras”, atau
“berasal dari satu rumpun bangsa” berarti mengebiri politik konfrontasi
kita terhadap komplotan agresif kaum imperialis dengan kaum reaksioner
Malaya yang mendirikan proyek neo-kolonial “Malaysia”. Ia juga berarti
mengebiri politik dukungan penuh “as a matter of principle” terhadap
proklamasi kemerdekaan Rakyat Kalimantan Utara pada tanggal 8 Desember
1962. Sebaliknya, walaupun Kuba jauh letaknya dari Indonesia, tetapi
karena persamaan tujuan perjuangan kedua Rakyat kita saling menyokong.
Tetapi dengan “Malaysia” yang secara geografis sangat dekat, kita
sedang ganyang-ganyangan sekarang ini.
Bahwasanya pandangan geopolitik mengakibatkan politik menyerah kepada
agresi imperialis dapat pula kita lihat dari kesimpulan yang ditarik
oleh Jenderal Mayor Simatupang dalam bukunya
Pelopor dalam Perang, Pelopor dalam Damai di
mana dia menulis bahwa “sebagai negara maritim harus juga kita
usahakan hubungan persahabatan dengan negara-negara yang menguasai
lautan di sekitar negeri kita” (halaman 149). Kesimpulan ini sungguh
suatu kesimpulan yang menimbulkan kemarahan dalam hati tiap-tiap
patriot Indonesia. Siapa negara yang menguasai lautan di sekitar negeri
kita kalau bukan negara-negara SEATO? Politik macam apa ini, yang
menetapkan bahwa kita harus bersahabat dengan negara-negara SEATO,
dengan alasan bahwa mereka mengelilingi negeri kita? Tak lain, ini
politik kapitulasi kelanjutan daripada politik luar negeri
Syahrir-Hatta. Padahal, justru karena negara-negara SEATO mengelilingi
kita, kita harus menganggap mereka sebagai musuh yang berbahaya.
Bukankah sikap kapitulasi ini suatu tantangan tegas terhadap Rakyat
Indonesia yang sudah sejak dahulu menolak untuk mengadakan persahabatan
dengan SEATO, yang menolak dengan tegas untuk diseret ke dalam blok
SEATO yang imperialis dan agresif itu?
Menjawab soal ini, Bung Karno dalam
Tavip berkata sebagai
berikut: “Tetapi apakah dengan bebasnya Irian Barat, Republik Indonesia
sudah aman dan bebas dari ancaman-ancaman imperialis? Tidak, jauh
daripada itu! ‘Malaysia’ masih ‘dipasang’ di depan pintu RI. ‘Malaysia’
masih membentang di muka rumah Republik Indonesia, sebagai anjing
penjaga imperialisme. Pakta-pakta militer yang ada di seputar kita
baru-baru inipun ikut-ikut pula membicarakan soal kita, tapi zonder
seizin kita! Kita dikepung terang-terangan oleh kaum imperialis dari
segala jurusan!
“Tetapi kita tidak gentar, kita tidak takut. Memang Saudara-Saudara
jangan gentar, jangan takut! Berjalanlah terus, hantamlah terus,
ganyanglah terus ‘Malaysia” itu meski ia ditolong dan dibantu oleh
sepuluh imperialis sekalipun!” (
Tavip, halaman 34).
5. SYARAT PELAKSANAAN POLITIK LUAR NEGERI
Politik luar negeri kita yang sudah tepat sekarang hanya dapat
dilaksanakan dengan tepat pula, jika kita tidak henti-hentinya
menciptakan dan mengkonsolidasi syarat-syarat yang diperlukan untuk
itu, yaitu:
Pertama, persatuan nasional revolusiner berporoskan
Nasakom di dalam negeri. Inilah kekuatan utama untuk menciptakan empat
syarat lainnya.
Kedua, front internasional anti-imperialis yang kuat (front NEFO).
Ketiga, bebas atau soverein dalam politik, berdiri di atas
kaki sendiri dalam ekonomi, dan berkepribadian dalam kebudayaan.
Selama di bidang ekonomi kita belum berdiri di atas kaki sendiri, masih
banyak hutang dan masih tergantung dari luar negeri, selama itu
kebebasan kita dalam politik dan kepribadian kita dalam kebudayaan akan
terganggu. Sebagai contoh dapat disebut bahwa dilihat dari segi
prinsip politik luar negeri kita, kita harus berhubungan yang mesra
dengan Republik Demokrasi Jerman (RDJ) sebagai negara NEFO, tetapi
karena ketergantungan di bidang ekonomi, kita lebih mesra dengan
Republik Federasi Jerman (RFJ) ynag termasuk OLDEFO. Dengan RDJ kita
hanya ada hubungan Konsulat Jenderal, sedang dengan RFJ hubungan
Kedutaan Besar,
Keempat, mengikutsertakan Rakyat dalam kegiatan politik
luar negeri. Pemerintah selamanya akan berhasil dalam politik luar
negeri jika pemerintah dengan sadar menggunakan sistem konsultasi
dengan Rakyat melalui DPR-GR dan organisasi-organisasi Rakyat.
Kelima, pelaksana-pelaksana politik luar negeri yang
Manipolis, sesuai dengan perincian DPA tentang Manipol, bahwa soal
realisasi sangat tergantung pada orang-orang yang diberi tugas untuk
melaksanakannya.
Kelima syarat ini harus diciptakan dan dikonsolidasi terus-menerus,
karena hanya dengan syarat-syarat ini, politik luar negeri kita yang
sudah tepat sekarang akan dapat dilaksanakan dengan tepat dan sukses
besar.
Mengenai syarat kelima, tentang arti penting dari pelaksana-pelaksana
baiklah diingat perumusan DPA tentang hal ini ketika DPA memerinci
Manipol: “Walaupun Manifesto Politik adalah sangat penting karena telah
menjawab persoalan-persoalan pokok revolusi, dan telah mengemukakan
usaha-usaha pokok untuk menyelesaikan revolusi Indonesia, tetapi
realisasinya sangat tergantung pada orang-orang yang diberi tugas untuk
melaksanakannya” (
Tubapi, halaman 93).
Bung Karno sendiri seringkali mengatakan “Ten slotte beslist de mens” (Pada akhirnya manusialah yang menentukan).
Oleh karena itu, para pembantu Presiden di bidang politik luar
negeri, baik yang di Deparlu maupun yang di Perwakilan-Perwakilan RI di
luar negeri, harus benar-benar menjaga agar pelaksana-pelaksana
politik luar negeri bersih dari unsur-unsur partai terlarang dan
haruslah patriot dan Manipolis sejati, yang sepenuhnya setuju dengan
garis-garis politik luar negeri RI dewasa ini. Dan tepatlah apa yang
disimpulkan dalam
Membangun Dunia Kembali, bahwa: “Perlu
diadakan retooling dalam dinas diplomatik Republik Indonesia terhadap
aparatur-aparatur pelaksana politik luar negeri, yang suka berkompromi
dengan imperialisme, birokrat-birokrat yang berjiwa kintel yang
konservatif reaksioner dalam soal politik luar negeri, yang tidak
berjiwa Manipol-Usdek” (
Tubapi, halaman 292).
KESIMPULAN
Perkembangan dunia dewasa ini ditandai oleh 4 kontradiksi dasar.
Rakyat-Rakyat di seluruh dunia, di negeri-negeri kubu sosialis, di
negeri yang baru merdeka di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, dan di
negeri-negeri di mana kaum imperialis masih memegang kekuasaan negara,
dewasa ini sedang giat sekali, lewat berbagai bentuk perjuangan,
menyelesaikan kontradiksi-kontradiksi ini.
Arah perkembangan dunia dan perspektif perjuangan Rakyat sedunia
adalah baik dan gemilang, yaitu dunia baru, dunia Sosialis, dunia yang
bebas dari
l’exploitation de l’homme par l’homme.
Asia, Afrika, dan Amerika Latin, mengingat kekhususan-kekhususan
perjuangan Rakyat dan lemahnya mata rantai imperialisme di benua-benua
ini, mengambil kedudukan yang khas dalam perjuangan universal
menggempur imperialisme dunia. Asia, Afrika, dan Amerika Latin
merupakan poros dari segenap kekuatan baru yang sedang tumbuh, poros
NEFO.
Seudah Perang Dunia II, Amerika Serikat muncul sebagai negara
kapitalis yang terkuat dan menduduki posisi yang dominan dalam dunia
kapitalis. Amerika Serikat telah menjadi pusat reaksi dunia dan agresi.
Ciri-ciri khsuus yang ada pada AS dalam perkembangan dunia kapitalis
menyebabkan bahwa AS dewasa ini merupakan poros OLDEFO. Sistem kolonial
daripada imperialisme dunia mengalami proses keruntuhan dan
kehancuran.
Rakyat di mana-mana di dunia sekarang sedang bangkit melakukan
perjuangan revolusioner menggempur imperialisme yang kepalanya adalah
AS. Pukulan-pukulan kuat dan bertubi-tubi yang diberikan oleh
perjuangan Rakyat revolusioner ini membikin AS makin terdesak ke sudut
dan terisolasi.
Dalam perjuangan revolusioner ini, Asia Tenggara mengambil tempat
yang istimewa. Tingkat perjuangan Rakyat-Rakyat yang tinggi di daerah
ini dalam melawan agresi, intervensi, dan subversi kaum imperialis yang
dikepalai oleh AS membikin Asia Tenggara menjadi pusat teleng
kontradiksi-kontradiksi dunia. Kemenangan revolusi Asia Tenggara akan
mengakibatkan kebobolan yang besar dalam benteng imperialisme dunia, dan
ini berarti banjirnya revolusi dunia, berarti sumbangan yang besar
bagi pembangunan dunia kembali.
Revolusi Indonesia memainkan peranan yang penting dalam gerakan
revolusioner membobol perkubuan imperialisme dunia di Asia Tenggara.
Revolusi Indonesia yang sukses akan merupakan mercusuar, tidak saja
bagi perjuangan kemerdekaan penuh dari Rakyat-Rakyat Asia Tenggara,
tetapi juga bagi perjuangan-perjuangan revolusioner Rakyat-Rakyat di
Asia, Afrika, dan Amerika Latin pada umumnya.
Untuk menyukseskan revolusi Indonesia, adalah perlu dan penting
sekali, dan adalah satu keharusan untuk juga menjalankan politik luar
negeri yang Manipolis. Dan untuk menjalankan dengan konsekuen politik
luar negeri yang Manipolis perlu dipenuhi syarat-syarat tertentu,
terutama syarat politik yang dapat lebih memperkuat front nasional yang
berporoskan Nasakom dan dapat lebih memperkokoh front internasional
anti-imperialisme, untuk revolusi, kemerdekaan nasional bangsa-bangsa,
dan perdamaian dunia.
Sumber : http://www.marxists.org/indonesia/indones/1964-AiditPolitikLuarNegeri.htm