Kualitatif vs Kuantitatif
Paradigma penelitian kualitatif di
antaranya diilhami falsafah rasionalisme yang menghendaki adanya
pembahasan holistik, sistemik, dan mengungkapkan makna di balik fakta
empiris sensual.Secara epistemologis di sini bahwa metodologi penelitian dengan
pendekatan rasionalitas menuntut agar obyek yang diteliti tidak terlepas
dan dilepaskan dari konteksnya (eliminasi konteks). Penelitian
kualitatif bertolak dari paradigma alamiah. Artinya, penelitian ini
mengasumsikan bahwa realitas empiris terjadi dalam suatu konteks
sosio-kultural, saling terkait satu sama lain (Moleong: 1989). Sedangkan
penelitian kuantitatif menggunakan paradgma positivistik-ilmiah. Segala
sesuatu dikatakan ilmiah bila dapat diukur dan diamati secara obyektif
yang mengarah kepada kepastian dan kecermatan (Sunarto, 1993: 3). Karena
itu, metode kuantitatif melahirkan berbagai bentuk percobaan
(eksperimen), perlakuan, pengukuran, uji lapangan, dan uji-uji statistik
Metode kualititatif disebut sebagai
paradigma alamiah. Berakar dari kata alamiah itu sendiri yang berarti
alami, apa adanya. Maka metode kualitatif merupakan pengungkapan
realitas tanpa melakukan pengukuran yang baku, pasti, dan
non-manipulatif. Keaslian dan kepastian merupakan faktor yang sangat
ditekankan. Karena itu, kriteria kualitatif lebih ditekankan pada
relevansi, yakni signifikasi dan kepekaan individu terhadap lingkungan
sebagaimana adanya. Sedangkan metode kuantitatif lebih ditekankan pada
validitas internal dan eksternal, reliabilitas instrumen dan
obyektivitas yang bersifat ilmiah.
Tabel 1. Perbedaan Kuantitatif dan Kualitatif
Gambaran Tentang | Paradigma | |
Ilmiah | Alamiah | |
Teknik Yang Digunakan | Kualitatif | Kuantitatif |
Kriteria Kualitas | “Rigor” | Relevansi |
Sumber Teori | A priori | Grounded |
Persoalan Kausalitas | Apakah X menyebab-kan Y? | Apakah X menyebabkan Y dalam latar alamiah |
Tipe pengetahuan yang digunakan | Proposisional | Proposisional yang diketahui bersama |
Pendirian | Reduksionis | Ekspansionis |
Maksud Penelitian | Verifikasi | Ekspansionis |
Sumber: diolah dari Moleong, 1998: 16
Penelitian kuntitatif khususnya
eksperimen, menggambarkan sebab-akibat. Peneliti seringkali tertarik
untuk mengetahui: apakah X mengakibatkan Y? atau, sejauh mana X
mengakibatkanY?. Jika peneliti hanya tertarik untuk mengetahui pengaruh X
terhadap Y, maka logikanya di sini adalah soerang peneliti bisa
mengendalikan atau mengontrol berbagai variabel (X1, X2, X3 dan
seterusnya) yang diduga dan berharap akan berpengaruh terhadap Y.
Sehingga peneliti bisa memanipulasinya. Kontrol dilakukan sedemikian
rupa bukan hanya melalui teknik-teknik penelitian melainkan juga melalui
analisis statistk.Berbeda dengan metode kualitatif.
Seorang peneliti kualitatif memang juga tertarik mencari hubungan
sebab-akibat, namun lebih melihat dengan cara yang alamiah. Peneliti
melihat gejala, kondisi, dan fenomena sosial yang terjadi kemudian
melihat kembali apakah fenomena tersebut mempengaruhi atau mengakibatkan
fenomena lain atau tidak. Misalnya : peneliti melihat security dilemma
di kawasan Asia Timur. Ia mengamati apakah pengembangan militer dan
nuklir Korea Utara (Korut) mengakibatkan perilaku negara-negara di Asia
Timur dalam hal militer. Dan ternyata memang menunjukkan bahwa
pengembangan militer Korut mengakibatkan Korea Selatan (Korsel) dan
Jepang turut meningkatkan aktivitas militernya pula. Karaterisrik security dilemma tidak disiapkan oleh peneliti sebelumnya. Konseptual dari security dilemma
diformulasikan sesuai dengan realitas fenomena yang ada. Penelitian
kualitatif mengembangkan perspektif, konsep, dan teori yang akan
digunakan untuk memahami dan menggambarkan realitas. Karena itu,
peneliti kualitatif berpendirian ekspansionis, tidak reduksionis. Ia
tidak menggunakan proposisi yang berangkat dari teori melainkan
menggunakan pengetahuan umum yang sudah diketahui serta tidak mungkin
dinyatakan dalam bentuk proposisi dan hipotesis. Karena itu, dalam
penelitian kualitatif tidak terdapat hipotesis tentatif yang hendak
diuji berdasarkan data lapangan.
Sebaliknya penelitian kuantitatif,
seorang peneliti harus berangkat dari teori terlebih dahulu kemudian
diterjemahkan ke dalam proposisi (pernyataan yang dapat iduji
kebenarannya) dan selanjutnya menjadi sebuah turunan, yaitu hipotesis.
Kemudian menguji hipotesis itu dengan eksperimen dan olah data
(statistik). Karena itu, peneliti kuantitatif berpendirian reduksionis,
yakni hanya mencari fokus kecil di antara berbagai fenomena sosial yang
sesuai dengan teori yang hendak dibuktikannya. Dengan kata lain,
seorang peneliti kuantitatif tidak bisa bekerja tanpa teori
Penjelasan di atas menggambarkan jurang
perbedaan antara kualitatif dan kuantitatif. Dapa kita tarik sebuah
kesimpulan di sini yang merujuk pada pertanyaan selanjutnya yaitu
mengenai metode apa yang paling sesuai dengan ilmu hubungan
internasional. Penulis meneguhkan bahwa metode kualititatif lebih sesuai
dengan bidang ilmu hubungan internasional. Objek dari hubungan
internasional adalah gejala sosial, dan fenomena sosial sehingga
peneliti perlu melihat terlebih dahulu fenomena yang terjadi kemudian
bisa mengkaitkan dengan teori maupun konsep yang ada. Bukan menetapkan
teori terlebih dahulu kemudian melihat fenomena seperti para peneliti
kuantitatif. Karena belum tentu teori yang dipilih selalu sesuai dengan
gejala yang terjadi. Harus disesuaikan, jika tidak akan terlihat seperti
memaksakan teori dan penuh manipulasi. The question here is, can we combine both of them?
Mengkombinasikan Kualitatif-Kuantitatif
Perbedaan antara metode kualitatif
maupun kuantitatif hendaknya bukan menjadi sebuah hambatan yang
signifikan dan akhirnya membuat dua metode tersebut seolah-olah berbeda
dan berseberangan. Antara penelitian kualitatif dengan kuantitatif
memang seakan-akan terdapat perbedaan paradigmatif yang tidak ada titik
temu. Namun sebenarnya mereka ada kesamaan dan bisa dikombinasikan. Tata
pikir logika penelitian positivisme-kuantitatif yang meliputi tata
pikir korelasi, sebab akibat, dan tata pikir timbal-balik atau
interaktif, seperti nampak dalam model-model uji statistik inferensial, menurut Muhadjir (2000), dapat ditempatkan dalam sebuah grand theory artau grand consept agar data empirik sensual dapat dimaknai dalam cakupannya yang lebih luas.
Apa yang dimaksud dengan grand theory,
sesungguhnya tiada lain ialah teori-teori besar yang menjadi kunci
analisis untuk memahami fenomena sosial, baik statika maupun dinamika
sosial. Ini merupakan logika makro yang menjadi pijakan analisis.
Penelitian kuantitatif hanya menggunakan logika mikro, seperti korelasi
dan hubungan sebab akibat, sedangkan penelitian kualitatif seringkali
tertarik pada logika makro. Karena itu, Muhadjir (2000) mengusulkan agar
logika mikro kuantitatif ditempatkan dalam kerangka logika makro. Di
antara logika makro itu ialah : Pertama, pola pikir historik atau proses perkembangan. Kedua,
pola pikir yang terkait dengan sistematisasi pengetahuan, seperti pola
pikir sistemik, fungsional, pragmatik dan pola pikir kontekstual. Ketiga, pola pikir yang mengarah dari kutub statika sosial seperti struktur sosial kepada dinamika sosial. Ketiga,
pola pikir yang menggambarkan keterkaitan antara berbagai fenomena
dengan asumsi bahwa suatu fenomena terkait dengan fenomena yang lain.
Penempatan tata pikir mikro yang bersifat korelasional dan eksperimental dalam sebuah konteks grand theory,
barangkali akan lebih jelas jika dirinci untuk masing-masing bentuk
penelitian kuantitatif positivistik. Sudah diketahui umum bahwa bentuk
penelitian kuantitatif terdiri dari penelitian deskriptif, korelasional
dan eksperimen, walaupun dalam pengembangannya terjadi perbedaan
pendapat. Masing-masing bentuk penelitian tersebut kita tempatkan dalam
logika penelitian kualitatif.
Penempatan tata pikir mikro yang bersifat korelasional dan eksperimental dalam sebuah konteks grand theory,
barangkali akan lebih jelas jika dirinci untuk masing-masing bentuk
penelitian kuantitatif positivistik. Sudah diketahui umum bahwa bentuk
penelitian kuantitatif terdiri dari penelitian deskriptif, korelasional
dan eksperimen, walaupun dalam pengembangannya terjadi perbedaan
pendapat. Masing-masing bentuk penelitian tersebut kita tempatkan dalam
logika penelitian kualitatif.
Hasil dari penelitian kualitatif adalah
bersifat deskriptif yaitu berusaha menggambarkan suatu gejala sosial,
ekonomi dan keagamaan. Misalnya : seorang peneliti menulis judul
penelitian: “Tingkat Kedisplinan Karyawan FISIP Unej dan Produktivitas
Kerja”. Namun penelitian ini bisa dilakukan dengan pendekatan
kuantitatif. Peneliti mengukur tingkat kedisiplinan dengan menggunakan
skala interval berdasarkan indikator-indikator kedisiplinan. Penelitian
kemudian mengambil sampel agar mewakili populasi yakni karyawan-karyawan
FISIP Unej. Karena sampel bersifat representatif, peneliti menyimpulkan
populasi berdasarkan sampel tersebut.
Penelitian tersebut merupakan penelitian
kuantitatif. Namun bersamaan dengan itu, peneliti dapat mengungkap
latar yang bersifat alamiah seperti sifat dari kualitatif. Ia dapat
mempertanyakan mengapa terjadi perbedaan tingkat kedisiplinan?.
Bagaimana wujud kedisiplinan dalam kerja?. Bagaimana mereka meningkatkan
produktivitas kinerja?. Bagaimana proses munculnya ketidak-displinan
tersebut?. Beberapa pertanyaan ini tidak bisa dijawab secara kuantitatif
melainkan memerlukan jawaban yang bersifat kualitatif dalam suatu latar
yang bersifat alamiah. Dengan demikian, dalam hal ini terdapat titik
temu antara kuantitatif dengan kualitatif. Antara kedua jenis penelitian
itu ternyata saling melengkapi dan saling membutuhkan.
Pendekatan Alternatif
Terkait dengan pendekatan-pendekatan
alternatif dalam hubungan internasional dewasa ini, alangkah baiknya
kita membahas tentang positivisme dalam ilmu hubungan internasional.
Positivisme mempunyai hasrat untuk menyatukan beragam pengetahuan ke dalam suatu “unified of science”
seperti pemikiran ala Barat. Salah satu gerakan positivisme adalah
munculnya kaum Behavioralis pada akhir 1950-an dan awal 1960-an. Kaum
Behavioralis mendorong studi HI ke arah terciptanya teori yang bersifat
eksplanatori dan prediktif. Atau dengan kata lain ilmu HI harus bisa
menjelaskan dan mampu memprediksi (meramal). Behavioralis ingin mencoba
membuat sebuah universal law atas fenomena HI. Para teoritisi
behavioralis akan terus menyelidiki guna mendapatkan sebuah pola yang
berulang atas fenomena internasional. Oleh karena itu, teori HI harus
terus dikembangkan, dikaji untuk mendapatkan sebuah generalisasi. Dengan
demikian, secara epistemologis, behavioralisme mengarahkan kepada
pendekatan saintifik. Tujuannya adalah mempelajari pola-pola dan
kecenderungan sehingga bisa dijadikan ramalan tentang apa yang mungkin
terjadi dalam hubungan internasional.
Behavioralis dituntut dituntut untuk mampu memformulasikan
“hukum-hukum” yang objektif untuk menjelaskan fenomena dalam dunia
sosial melalui pengumpulan data empiris tentang fakta, lebih disukai
data berbentuk angka agar dapat dijadikan pengukuran, klasifikasi. Hemat
penulis di sini para behavioralis lebih tertarik pada fakta yang dapat
diamati dan yang dapat diukur dalam penghitungan yang tepat agar
mendapatkan repeating patterns yaitu hukum-hukum hubugan internasional.
Menurut Waltz, teori HI haruslah teori
empiris, sebab ia nantinya akan dapat memprediksi perilaku politik
internasional. Adapun langkah-langkah untuk membentuk keilmiahan teori
menurut Waltz, sebagai berikut (Waltz : 1973 : 13) :
- Nyatakan teori yang akan diuji
- Buat hipotesis dari teori tersebut
- Tempatkan hipotesis tersebut pada uji eksperimental atau observasional
- Dalam menjalankan kedua dan ketiga, gunakan definisi dari istilah yang ditemukan dalam teori yang sedang diuji
- Kembangkan sejumlah pengujian yang berbeda dan menekan
- Jika pengujian tidak berhasil, tanya apakah teori tersebut gagal sepenuhnya, membutuhkan perbaikan dan uraian baru atau memerlukan penyempitan ruang lingkup dari pernyataan eskplanatori
Namun, teori Waltz ini (begitu pula
Kaplan dan Deutsch serta para behavioralis lainnya) memiliki tendesi
yang sangat belebihan yang hendak melepaskan konteks pada saat
penelitianny dilangsungkan dengan harapan dapat menemukan sebuah fakta
yang objektif dan bebas nilai sehingga tampak seperti given. Permasalahan
ini kemudian menyisakan sebuah pertanyaan-pertanyaan seperti : Bukankah
jika peneliti memasukkan kasus tertentu atas dasar apa yang ingin dia
ketahui sehingga tampak seperti manipulasi?. Bukankah nanti peneliti
juga akan memasukkan variabel dan hipotesia yang sesuai dengan apa yang
ingin diteliti saja sehingga variabel-variabel lain yang dianggap
‘negatif’ dan ‘kurang penting’ disingkirkan?. Kemudian bagaimana seorang
peneliti bisa lepas dari godaan bias dalam dirinya?
Pertanyaan-pertanyaan di atas
menimbulkan keraguan atas validitas teori-teori sosial empiris dalam HI,
melainkan juga keraguan akan keabsahan sang peneliti untuk menyatakan
evidensinya. Keraguan-keraguan di atas mendorong munculnya teori-teori post-positivisme.
Teori-teori Postpositivisme : Sebagai Pelengkap atau Berdiri Sendiri?
Teori-teori post-positivisme antara lain
konstruktivisme, teori kritis, posmodernisme dan semacamnya. Teori
post-postivis mencoba memberikan kritik terhadap positivisme atas
upayanya mengilmiahkan sebuah ilmu sosial, khususnya ilmu hubungan
internasional. Di dalam salah satu teori post-poisitivis, yaitu Teori
Kritis menolak tiga aspek dasar yang diberikan positivisme : realitas
eksternal objektif, perbedaan subjek/objek, dan bebas nilai. Menurut
teori kritis, tidak ada politik, ekonomi, dan fenomena global yang
berjalan sesuai dengan hukum yang kekal. Dunia sosial adalah sebuah
konstruksi waktu dan tempat. Sejak politik dunia ini dikonstruksi oleh
negara kuat daripada ditemukan, tidak ada perbedaan mendasar antar
subjek (analis) dan objek (fokus analisis).
Menurut teori kritis, pengetahuan tidak bisa netral. Semua pengetahuan
merupakan intepretasi dari yang pengamat (subjek). Atau dengan kata
lain, pengetahuan selalu bias karena dihasilkan dari perspektif dan
analisis.
Seperti halnya teori kritis, kaum
kosntruktivis pun juga menyetujui bahwa tidak ada realitas sosial yang
objektif, dan bebas nilai. Kunci pemikiran kosntruktivis adalah realitas
sosial merupakan hasil konstruksi manusia. Teoritisi konstruktivis
antara lain : Alexander Wendt (1992), Nicholas Onuf (1989), dan John
Ruggie (1998). Menurut konstruktivis realitas dunia sosial bukanlah
sesuatu yang terberi (given), dunia sosial bukan sesuatu yang
‘di luar sana’ yang hukum-hukumnya dapat diteliti melalui penelitian
ilmiah dan dijelaskan pula dengan teori ilmiah. Melainkan, dunia sosial
merupakan wilayah inter-subjektif. Dunia dibuat dan dibentuk oleh masyarakat pada ruang dan waktu tertentu.
Kaum kosntruktivis begitu pula para posmodernis sepakat bahwa tiada
sesuatu yang seperti ‘kebenaran’. Intepretasi subjek membuat manusia
bisa mengakumulasi dan memanipulasi pengetahuan. Sedikit berbeda dengan
teori kritis, kosntruktivis menekankan pada peran ide/pemikiran,
pengetahuan bersama atas dunia sosial. Namun apakah kemunculan teori
post-poitivis ini merupakan sebuah metode yang bisa berdiri sendiri atau
bisa menjadi sebuah komplemen atas positivis?
Kritik atas post-positivis terhadap
positivis hendaknya bukan menjadi sebuah batu sandungan untuk membedakan
kedua paradigma tersebut. Sebaliknya, post-poitivis bisa dijadikan complementary
(pelengkap). Seperti yang kita tahu, teori positivis melingkupi
realisme, neorealis, neoliberalis, dan liberalisme. Menurut penulis di
sini, teori-teori di atas terbentuk pun tak lepas dari peran teori
post-positivis dalam segi epistemologis.
Dalam melihat fenomena dan dunia sosial
seorang peneliti bisa menggunakan asumsi-asumsi dasar dari teori-teori
post-positivis. Seorang peneliti perlu menyusun pertanyaan-pertanyaan
mendasar dan mendalam. Suatu contoh, peneliti ingin mengetahui
kecendrungan negara meningkatkan belanja militernya. Maka
pertanyaan-pertanyaannya bisa disusun sebagai berikut :
- Mengapa negara meningkatkan belanja militernya?
- Apa tujuannya?
- Sektor apa saja yang ditingkatkan?
- Ditujukan untuk apa?
Pertanyaan-pertanyaan yang bersifat
epistemologis di atas bisa didapat dengan mendalami teori-teori
post-positivis, khususnya posmodernisme tentang double reading.
Di dalam pendekatan posmodernis hendaklah kita melakukan sebuah
pembacaan ganda atas fenomena sosial. Kembali kepada contoh di atas.
Peneliti akan terus menggali mengapa negara meningkatkan belanja
militerya. Pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya mendalam perlu dipakai.
Peneliti harus terus mengkaji, mengumpulkan data tekait pertanyaan yang
hendak ia buktikan. Metode pertanyaan mendalam di atas ditempatkan pada
post-positivis
Setelah itu barulah memasuki pada tahap analyzing.
Dalam tahap ini materi-materi, data-data yang telah dikumpulkan oleh
peneliti berdasarkan atas pertanyaan yang ia kaji akan dianalisa. Di
sini peneliti mencoba mencari sebuah repeating patterns atas
jawaban-jawaban pertanyaan di atas terhadap perbandingan negara-negara
yang cenderung meningkatkan belanja militernya. Setelah menemukan sebuah
perulangan pola. Peneliti akan mencoba sebuah generalisasi hipotesa
atas kecenderungan peningkatan belanja militer negara-negara. Pada saat
penulis mencoba mengeneralisasi itulah akan memasuki ranah positivis
yang menurut Waltz, membuat sebuah law like statement atau bentuk hipotesa yang meyerupai hukum universal.
PUSTAKA
- Menurut catatan Prof.Dr. Noeng Muhadjir, penelitian kualitatif yang bertolak dari pemikiran post-positivisme memiliki empat kerangka berfikir, yaitu: (a) post-positivisme-rasionalistik, (b) postpositivisme phenomenologik-interpretif, (c) postpositivisme dengan teori kritis dan weltanschauung, dan (d) pragmatisme meta-etik. Lihat: Noeng Muhadjir, Metodologi Penelitian Kualitatif (Yogyakarta: Rake Sarasin, 2000)
- Mengenai kontrol variabel pengganggu dalam eksperimen dapat dilakukan dengan memilih berbagai bentuk desain penelitian eksperimen yang paling tepat. Mengenai berbagai bentuk penelitian eksperimen, lihat antara lain, l, Donald T. Campbel dan Julian C. Stanley, Experimental and Quasi-Experimental Designs for Research (Chicago: Rand McNally College Publishing Company, 1963)
- Salah satu ciri khas penellitian positivisme-kuantitatif ialah menggunakan uji-uji statistik inferensial yang membuktikan keeratan hubungan atau pengaruh yang bersifat kausalitas variabel X dengan Y. Lebih jelasnya mengenai hubungan ini, lihat anatra lain, D.I. Champion, Basic Statistic for Social Research (New York: Macmillan Publishing Co.,1981)
- Mengenai logika-logika atau ragam tata pikir penelitian kualitatif, lihat Noeng Muhadjir (2000): 86-107.
- Mochtar Mas’oed, Ilmu Hubungan Internasional : Disiplin dan Metodologi, Jakarta : LP3ES, 1990, hlm. 185
- Robert Jackson and Goerge Sorense, Pengantar Studi Hubungan Internasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 110
- Ibid, hlm. 296
- Saummil Hadi, Third Debate dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional, Yogyakarta : Jalasutra 2008, hlm. 125
- Robert Jackson and George Soerensen, Pengantar Studi Ilmu Hubungan Internasional, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2005, hlm. 299
- Ibid, hlm. 307
Tidak ada komentar:
Posting Komentar