Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia (LSI)
Survei dan demokrasi memiliki hubungan simbiosis
mutualistik. Survei opini publik sulit dilakukan pada rezim otokratik.
Sistem otoriter tidak memungkinkan suara publik terpublikasi, karena
membahayakan rezim otoritarian. Sebaliknya, rezim politik demokratis
sangat membutuhkan survei dalam kerangka revisi kebijakan publik yang
semakin dekat dengan aspirasi publik. Parameter responsiveness (tanggap
atas aspirasi) dan partisipasi warga yang merupakan pondasi demokrasi
sangat mungkin tersalurkan melalui mekanisme sistematik bernama survei.
Tak heran jika pada masa Orba, survei tak mendapatkan
persemaian subur. Ada dua alasan. Pertama, survei dianggap rezim bagian
dari insubordinasi, bahkan subversi terhadap kekuasaan. Kasus
penangkapan surveyor PT. Suburi pada tahun 1972 di Semarang misalnya,
menjadi contoh tragis. Wording dalam kuisoner menempatkan Soeharto pada
posisi nomor tiga dari sepuluh nama pemimpin lainnya telah menyulut
kemarahan inteljen (Tempo, 17 Juni 1972).
Alasan kedua yang pasti membatalkan keinginan
melakukan survei adalah semua pemilu yang terselenggara pada masa rezim
Orba termasuk kategori non-demokratis. Asas partisipasi dilikuidasi
dengan mobilisasi, parsialitas birokrasi, represi aparat, dan kemenangan
Golkar sebagai the ruling party sudah pasti bisa ditebak, bahkan
sebelum pemilu dimulai.
Wajar jika “demam” survei mulai terjadi pada masa
reformasi, terutama Pemilu 1999. Ada sekitar lima lembaga yang
mengadakan survei perilaku pemilih pada saat itu, yakni Resource
Productivity Center (RPC), International Foundation for Election Systems
(IFES), LP3ES, Litbang Harian Kompas, dan KPP-Lab Politik UI.
Menariknya, kemenangan PDIP dalam pemilu 1999 dengan kecenderungan pada
variabel sociological theory ternyata sudah diprediksi melalui survei
yang memakai metodologi penelitian yang sahih.
Seolah melanjutkan keberhasilan di 1999, survei
kembali marak menjelang pemilu 2004, meski “pemain” masih sedikit.
Selain kelima lembaga yang sudah beroperasi pada pemilu 1999, muncullah
Lembaga Survei Indonesia (LSI), Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat
(PPIM), Soegeng Sarjadi Syndicated (SSS), Danareksa Research Institute
(DRI) dll. Di Pemilu 2004, baik pada pemilihan legislatif, pilpres
putaran pertama dan kedua, LSI tampil sebagai “pemenang” terbukti
akurasi dan presisinya yang lebih baik dibanding lembaga-lembaga lain.
Akurasi dan Presisi
Pemilu 2009 malah ditandai oleh menjamurnya
lembaga-lembaga survei. Tak kurang 22 lembaga yang tergabung di
Perhimpunan Survei Opini Publik Indonesia (PERSEPI). Belum lagi yang
tergabung di Asosiasi Riset Opini Publik (AROPI). Pada pemilu legislatif
2009, kembali prediksi survei LSI yang mengunggulkan Partai Demokrat
sejak survei bulan Desember 2008, terbukti kebenarannya. Saat itu, LSI
dituding “melacurkan” diri karena pada saat bersamaan banyak lembaga
survei yang memprediksi PDIP atau Golkar sebagai pemenang. Memang, dari
sisi presisi, survei terakhir LSI yang dirilis menjelang Pileg agak
kurang baik. Padahal prediksi survei-survei LSI sebelumnya kisaran
Demokrat di antara 19-22%.
Mengapa banyak lembaga survei yang meleset pada Pileg
2009 kemarin? Ukuran gagal atau tidaknya sebuah survei, menurut Daniel
Dhakidae (1999), ditentukan oleh dua hal, akurasi dan presisi. Inilah
“dua kalimah syahadat” bagi peneliti yang bergiat di lembaga survei.
Akurasi adalah sejauh mana survei secara benar memprediksi pemenang
pemilu dan sekaligus menentukan komposisi peringkat pemenang pemilu,
entah itu partai maupun capres dan cawapres. Jadi, akurasi yang dimaksud
di sini berkaitan dengan benar-tidaknya ramalan mereka (correctness)
pemenang pemilu dan urutannya.
Adapun pengertian presisi terkait dengan ketepatan
(exactness). Ini karena survei bukan hanya dituntut akurat dalam
memprediksi pemenang pemilu, tapi juga harus tepat dalam meramal
perolehan suara partai atau kandidat capres dan cawapres. Makin dekat
ramalan perolehan suara partai-partai secara keseluruhan dengan Mean of
Absolute Deviation, dibandingkan dengan hasil perolehan partai yang
sebenarnya, maka tingkat presisinya semakin bagus.
Sampling Bermasalah
Selain itu, banyak lembaga survei yang merilis
hasilnya akhir-akhir ini yang “menghina” kecerdasan publik. Mereka lupa
hakikat dasar survei. Pengertian survei adalah upaya untuk mengetahui
opini publik tanpa harus menanyakan kepada semua orang (seperti halnya
pemilu atau referendum) (Gallup dalam Judith M. Tanur (ed), 1985). Opini
publik tersebut diracik dari sejumlah orang yang menjadi sampel untuk
merepresentasikan populasi. Melalui teknik ilmiah yang didasarkan pada
metode statistik modern, sampel yang diambil tadi bisa mencerminkan
opini seluruh masyarakat.
Survei yang dilakukan dengan memakai metodologi yang
sahih dipastikan dapat menggali opini dan preferensi publik dengan
akurasi yang bisa diandalkan dan biaya yang dapat ditekan. Melalui
teknik penarikan random sampling yang benar, maka kita tak perlu
bertanya pada semua anggota populasi, sehingga biaya dapat dipermurah.
Kesahihan survei, pertama dapat diukur dari seberapa
representatif sampel yang diambil bisa mewakili populasi. Survei via SMS
yang rajin digelar TV-TV, meski diikuti ratusan ribu pengirim SMS,
hasilnya sama sekali tidak menggambarkan realitas. Survei melalui
telepon juga tak kalah menyesatkan karena populasi pemilik telepon di
Indonesia kurang dari 15 persen. Bila sampelnya didasarkan pada pemilik
telepon berarti ada 85 persen masyarakat Indonesia yang dianulir
keberpeluangan-nya untuk terpilih sebagai sampel.
Jika prinsip keberpeluangan ini diabaikan, maka
sampel tersebut tak bisa disebut mewakili populasi. Diperlukan sampling
frame yang menjadi acuan dalam penarikan sampel yang didasarkan pada
up-date karakteristik populasi yang standar seperti hasil sensus BPS.
Untuk mengecek kesesuaian profil responden yang menjadi sampel dengan
karakteristik populasi dapat dilihat dengan membandingkan prosentase
keduanya dalam beberapa aspek seperti sebaran demografi (desa-kota,
Jawa-non Jawa), gender, pendidikan, agama, dan lain-lain.
Demikianlah, masyarakat harus kritis dengan melihat
rekam jejak sebuah lembaga survei. Publik juga harus mencermati
metodologi, validasi sample, dan wording kuisonernya apakah bersifat
probing atau mengarahkan jawaban responden ke arah tertentu atau tidak.
Dengan ikhtiar bersama media-massa, kita sebenarnya bisa dengan mudah
membedakan lembaga survei “loyang” dan “emas.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar