Sekarang ini, etika seringkali menjadi
konsep yang sering “dinomor duakan ”dalam penyelenggaraan pemerintahan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Etika seolah menjadi sesuatu hal yang tidak
penting dan tidak menarik untuk menjadi wacana dalam ranah birokrasi
pemerintahan. Akibatnya, fenomena penyalahgunaan wewenang marak terjadi,
tidak hanya di pemerintahan pusat, bahkan sudah menjalar ke unit-unit
terkecil di daerah.
Sebelum kita membahas perspektif etika dalam
etika administrasi publik,kita perlu dipahami terlebih dahulu substansi dari
etika itu sendiri. Etika berasal dari bahasa Yunani yaitu “Ethos”, yang
memiliki arti “kesediaan jiwa” atau “kesusilaan”. Ethos merupakan
istilah tunggal, sedangkan istilah jamaknya yaitu “ethes”. Ethes
merupakan kumpulan dari peraturan-peraturan kesusilaan. Pengertian
kesediaan sebenarnya ada di dalam pengertian ethes, karena kesusilaan
pada hakikatnya mengharap untuk ditaati orang lain, yang berarti orang
tersebut bersedia untuk melakukannya. Dalam bahasa Latin, disebut dengan
“mores” artinya kesusilaan atau tingkat salah satu perbuatan lahir.
Selanjutnya mores berkembang menjadi moralitas yang berarti kesediaan
jiwa akan kesusilaan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa pengertian
moralitas atau moral adalah sama dengan pengertian etika.
John P. Noman S.J. (dalam Wijaya: 1999)
menyatakan bahwa etika adalah ilmu pengetahuan yang mempelajari
moralitas dari perbuatan-perbuatan manusia. Etika disebut juga “moral
philosophy”. Sedangkan moralitas adalah kebaikan atau keburukan,
kebenaran atau kesalahan dari tingkah laku manusia. Sehingga dapat
disimpulkan bahwa etika itu mempelajari perbuatan-perbuatan tertentu dan
jenis-jenis tingkah laku manusia tentang baik dan buruk, benar dan
salah yang menggunakan norma-norma atau nilai-nilai sebagai kriteria
penilaiannya.
Etika bertalian erat dengan administrasi
publik. Etika mempelajari tentang filsafat, nilai, dan moral sedangkan
administrasi publik mempelajari tentang pembuatan kebijakan, pengambilan
keputusan, dan pengimplementasian kebijakan. Etika bersifat abstrak dan
berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan administrasi bersifat konkrit dan harus mewujudkan apa yang telah dirumuskan dan disepakati dalam kebijakan publik. Pembicaraan
tentang etika dalam administrasi publik adalah bagaimana mengaitkan
keduanya, bagaimana gagasan-gagasan administrasi, seperti efektivitas,
efisiensi, akuntabilitas, kemanfaatan, produktivitas dapat menjelaskan
etika dalam prakteknya, dan bagaimana gagasan-gagasan dasar etika,
seperti mewujudkan yang baik dan menghindari yang buruk, dapat
menjelaskan hakikat administrasi publik. Sehingga diharapkan seorang
administratur publik selalu menggunakan pertimbangan etika dalam
melakukan segala aktivitas yang menyangkut kepentingan publik.
Sebenarnya, konsep etika yang
membicarakan masalah baik dan buruk telah menjadi bagian dari pembahasan
dalam administrasi publik. Misalnya, konsep birokrasi dari Weber, yang
mengemukakan konsep hirarki dan birokrasi sebagai profesi, mencoba untuk
menunjukkan birokrasi yang baik dan benar. Begitu juga upaya Wilson
untuk memisahkan politik dari administrasi (dikotomi
politik-administrasi). Cooper (1990) bahkan menyatakan bahwa nilai-nilai
adalah jiwa dari administrasi publik. Frederickson (1994) mengatakan
nilai-nilai menempati setiap sudut administrasi. Jauh sebelum itu Waldo
(1948) menyatakan siapa yang mempelajari administrasi berarti
mempelajari nilai, dan siapa yang mempraktekkan administrasi berarti
mempraktekkan alokasi nilai-nilai.
Berdasarkan pendapat dari beberapa ahli
tersebut, dapat ditarik benang merah bahwa perlu adanya konsep etika
dalam administrasi publik. Hal tersebut diimplementasikan dalam konteks
etika yang lebih spesifik, yaitu etika administrasi publik. Etika
administrasi publik memiliki titik tekan mengenai pembelajaran tentang
baik dan buruk atau apa yang seharusnya dilakukan oleh seorang
administratur publik. Acuan utamanya adalah nilai kemanfaatan yang akan
diperoleh atau dihasilkan, yakni baik atau buruk dilihat dari
konsekuensi keputusan atau tindakan yang diambil. Konsekuensi keputusan
atau tindakan yang diambil itu dapat diukur melalui beberapa hal, antara
lain pencapaian tujuan/sasaran kebijakan publik (adanya
perbaikan/peningkatan di bidang ekonomi, pendidikan, kesehatan, dll),
pemenuhan pilihan-pilihan masyarakat, perwujudan kekuasaan organisasi,
bahkan kekuasaan perseorangan.
Untuk lebih memahami konsep etika dalam
konteks etika administrasi publik, dapat digunakan pendekatan deontologi
yang dikemukakan Fox (1994). Terdapat tiga pandangan dalam pendekatan
deontologi, yaitu:
Pertama
pandangan mengenai keadilan sosial,
yang muncul bersama berkembangnya “Administrasi Negara Baru” (antara
lain Frederickson dan Hart, 1985).Menurut pandangan ini administrasi
publik haruslah secara proaktif mendorong terciptanya pemerataan atau
keadilan sosial (social equity). Mereka melihat bahwa masalah
yang dihadapi oleh administrasi negara modern adalah adanya
ketidakseimbangan dalam kesempatan sehingga mereka yang kaya, memiliki
pengetahuan, dan terorganisasi dengan baik, memperoleh posisi yang
senantiasa menguntungkan dalam negara. Dengan lain perkataan,
administrasi haruslah membantu yang miskin, yang kurang memiliki
pengetahuan dan tidak terorganisasi.
Kedua
apa yang disebut regime values atau regime norms. Pandangan
ini terutama bersumber dari Rohr (1989), yang berpendapat bahwa etika
administrasi publik harus mengacu kepada nilai-nilai yang melandasi
keberadaan negara yang bersangkutan
. Ketiga
tatanan moral universal atau universal moral order (antara
lain Denhardt, 1988, 1991). Pandangan ini berpendapat bahwa ada
nilai-nilai moral yang bersifat universal yang harus menjadi pegangan
bagi administratur publik. Masalahnya di sini adalah nilai-nilai moral
itu sendiri banyak yang dipertanyakan karena beragamnya sumbernya dan
juga kebudayaan serta peradaban, seperti telah diuraikan di atas.
Berdasarkan ketiga pandangan tersebut dapat disimpulkan bahwa posisi
etika dalam etika administrasi publik memiliki 3 kunci pokok, yaitu
keadilan sosial, nilai-nilai yang melandasi keberadaan negara, dan
nilai-nilai moral universal yang menjadi pedoman bagi administratur
publik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar