Bangsa Indonesia pada hari ini memperingati ulang
tahun Proklamasi Keerdekaannya ke 65. Pada hari bahagia ini penulis
terlebih dahulu menyampaikan Selamat Ulang Tahun kepada seluruh bangsa
Indonesia dengan rasa keharuan mengingat perjuangan kita untuk mencapai
dan membela kemerdekaan bangsa yang tidak ringan dan banyak pengorbanan.
Dalam perjuangan kita itu telah tercapai banyak
keberhasilan, khususnya kemampuan kita menegakkan dan mempertahankan
kemerdekaan Negara Republik Indonesia terhadap segala usaha dari luar
dan dalam negeri untuk meniadakan kemerdekaan kita.Akan tetapi dengan rasa prihatin harus kita akui
bahwa masih banyak yang belum berhasil kita lakukan, khususnya belum
terwujudnya Pancasila Dasar Negara RI sebagai kenyataan dalam kehidupan
bangsa. Demikian pula masih luasnya kemiskinan meliputi kehidupan rakyat
Indonesia. Juga belum terwujud kehidupan demokrasi yang cocok sehingga
turut menjadi sebab penting rendahnya kesejahteraan bagi rakyat unumnya.
Demokrasi di Indonesia harus berdasar Pancasila
Bangsa Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaannya pada
17 Agustus 1945 telah menetapkan Pancasila sebagai Dasar Negara RI dan
Filsafah Bangsa. Dengan begitu segala kehidupan yang bersangkutan dengan
Negara RI harus dilandasi Pancasila, termasuk pelaksanaan Demokrasi.
Ini lebih diperkuat oleh kesadaran bangsa Indonesia bahwa Pancasila
adalah Jatidiri Bangsa. Sebetulnya kata Demokrasi tidak ada dalam Pancasila.
Akan tetapi pengertian yang terkandung dalam kata Demokrasi ada dalam
kehidupan bangsa Indonesia sejak dahulu kala. Dalam Pancasila pengertian
Demokrasi disebut Kerakyatan. Akan tetapi sesuai dengan judul tulisan
ini dan perkembangan yang telah dan sedang terjadi di Indonesia maka
selanjutnya digunakan kata Demokrasi yang sama dengan Kerakyatan dalam
Pancasila.
Karena pelaksanaan Demokrasi dalam kehidupan satu
bangsa tidak dapat lepas dari Jatidiri dan Budaya bangsa, maka Demorasi
di Indonesia tidak dapat dilandasi pandangan hidup yang bukan-Pancasila,
seperti pandangan hidup dunia Barat yang mengedepankan Individualisme
dan Liberalisme. Sebab nilai-nilai yang dikandung Pancasila sangat
berbeda dengan pandangan hidup Barat itu. Maka kalau di Indonesia sejak
Reformasi 1998 berlaku Demokrasi Barat yang landasannya
individualisme-individualisme, maka ini merupakan sesuatu yang
seharusnya tidak terjadi di Indonesia.
Sejak bangsa Indonesia menyiapkan kemerdekaannya pada
tahun 1945 selalu menjadi pertanyaan bagaimana sistem pemerintahan yang
tepat dan paling bermanfaat untuk bangsa itu. Dengan kemudian
ditetapkannya Pancasila sebagai Filsafah dan Pandangan Hidup Bangsa
serta Dasar Negara Republik Indonesia, mulai jelas apa yang menjadi
Tujuan Bangsa. Hal ini makin tegas setelah dirumuskan dan disetujui
Undang-Undang Dasar 1945 pada 18 Agustus 1945.
Secara universal dan umum dapat dikatakan bahwa Demokrasi adalah sistem kenegaraan yang mengakui bahwa dalam negara itu Kedaulatan ada di tangan Rakyat. Hal ini menghasilkan sistem kenegaraan yang memungkinkan semua warga bangsa mempunyai kesempatan mewujudkan aspirasinya.
Dalam sejarah umat manusia tampak bahwa demokrasi
berkembang sesuai dengan kondisi bangsa yang bersangkutan, termasuk
nilai budayanya, pandangan hidupnya serta adat-istiadatnya. Dengan
begitu tiap-tiap bangsa mempunyai caranya sendiri mewujudkan demokrasi.
Hal iu antara lain tampak di Eropa Barat ; sekalipun bangsa-bangsa Eropa
Barat mempunyai banyak kesamaan budaya, pandangan hidup dan
adat-istiadat, namun demokrasi yang diwujudkan di masing-masing bangsa
Eropa Barat tidak sama. Hal itu dapat dilihat pada perwujudan demokrasi
di Perancis dan Inggeris yang tidak sepenuhnya sama. Bahkan antara
bangsa Amerika Serikat dan Inggeris yang sama-sama digolongkan bangsa
Anglo Saxon terdapat perbedaan besar dalam pelaksanaan demokrasi.
Itu memberikan kesimpulan bahwa pengertian demokrasi
bersifat universal, tetapi perwujudannya dan pelaksanaannya di tiap-tiap
negara dilakukan sesuai budaya, pandangan hidup, jatidiri bangsa di
negara itu. Tidak ada pelaksanaan atau perwujudan demokrasi yang
universal dan berlaku bagi semua bangsa. Maka tidaklah benar anggapan
sementara orang, termasuk di Indonesia, bahwa demokrasi Barat adalah
pelaksanaan demokrasi yang universal dan harus diterapkan pada semua
bangsa. Anggapan demikian sejak tahun 1945 ada pada sementara orang
Indonesia, terutama mereka yang menyangsikan terwujudnya kemerdekaan
Indonesia. Akan tetapi terutama kuatsekali setelah terjadi Reformasi
pada tahun 1998.
Padahal demokrasi bangsa Indonesia tidak sama dan tidak harus sama dengan
yang dilakukan bangsa lain, termasuk bangsa Barat yang pandangan
hidupnya berbeda dari Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa
Indonesia.
Ada perbedaan prinsipiil atau mendasar dalam
pandangan hidup Barat dan Pancasila, seperti tempat Individu dalam
pergaulan hidup. Dalam pandangan Barat individu adalah mahluk otonom
yang bebas sepenuhnya untuk mengejar semua kehendaknya. Dalam pandangan
itu individu membentuk kehidupan bersama dengan individu lain adalah
karena dorongan rasionya untuk menjamin keamanan dan kesejahteraannya,
bukan karena secara alamiah individu ditakdirkan hidup bersama individu
lain.
Sebaliknya dalam pandangan Pancasila individu secara
alamiah merupakan bagian dari kesatuan lebih besar, yaitu keluarga.
Individu tidak bisa lepas dari Keluarga. Dalam keluarga tidak ada
anggotanya yang sama benar, selalu ada perbedaan antara mereka. Akan
tetapi sekalipun berbeda satu sama lain mereka merupakan anggota satu
keluarga. Maka terjadi Perbedaan dalam Kesatuan, Kesatuan dalam Perbedaan. Oleh sebab itu pandangan Pancasila dan bangsa Indonesia adalah bahwa hidup merupakan Kebersamaan atau Kekeluargaan. Kehidupan dalam pandangan Pancasila dilakukan dalam Harmoni antara individu sebagai anggota keluaarga maupun sebagai anggota masyarakat. Individu
diakui eksistensinya dan dibenarkan untuk mengejar yang terbaik
baginya, tetapi itu tidak pernah lepas dari kepentingan Kebersamaan /
Kekeluargaan. Ini berbeda mendasar dari individualisme dan liberalisme
Barat. Perbedaan mendasar itu berpengaruh sekali terhadap pelaksanaan
demokrasi.
Selain itu dalam pandangan Barat dalam negara harus
berlaku sekularitas, yaitu terpisahnya Negara dan Agama. Maka demokrasi
Barat bersifat sekuler, dalam arti bahwa tidak ada faktor Ketuhanan atau
religie yang mempengaruhinya. Sebaliknya demokrasi Indonesia tidak
dapat lepas dari faktor Ketuhanan Yang Maha Esa yang merupakan sila
pertama Pancasila. Memang NKRI bukan negara berdasarkan agama atau
negara agama, namun ia bukan pula negara sekuler yang menolak faktor
agama dalam kehidupan bernegara. Ada yang mengritik “sikap bukan ini
bukan itu” sebagai sikap yang a-moral dan ambivalent, tetapi dalam
perkembangan cara berpikir dalam melihat Alam Semesta, khususnya yang
dibuktikan oleh Quantum Physics, hal ini fenomena normal dalam Alam ini. Maka karena sikap itu demokrasi Indonesia tidak pernah boleh lepas dari faktor moralitas.
Dengan landasan individualisme-liberalisme di Barat
individu selalu mencari keunggulan bagi dirinya. Sebab itu Demokrasi
Barat cenderung diekspresikan mengejar kemenangan dan kekuasaan. Dalam
demokrasi Barat adalah normal kalau partai politik mengejar kekuasaan
agar dengan kekuasaan itu dapat mewujudkan kepentingannya dengan
seluas-luasnya (The Winner takes all). Ia hanya mengakomodasi kepentingan pihak lain karena dan kalau itu sesuai dengan kepentingannya. Jadi kalau ada sikap Win-Win Solution dilakukan
di Barat, hal itu bukan karena prinsip Kebersamaan, melainkan karena
faktor Manfaat semata-mata. Di Indonesia berdasarkan Pancasila demokrasi
dilaksanakan melalui Musyawarah untuk Mufakat. Jadi dianggap tidak benar bahwa pihak yang sedikit jumlahnya atau minoritas dapat di”bulldozer” oleh pihak mayoritas yang besar jumlahnya. Itu berarti bahwa demokrasi Indonesia pada prinsipnya mengusahakan Win-Win Solution dan
bukan karena faktor manfaat semata-mata. Namun demikian, kalau
musyawarah tidak kunjung mencapai mufakat sedangkan keadaan memerlukan
keputusan saat itu, tidak tertutup kemungkinan penyelesaian didasarkan
jumlah suara. Maka voting dilakukan karena faktor Manfaat. Jadi terbalik dari pandangan demokrasi Barat.
Dalam demokrasi Indonesia tidak hanya faktor Politik
yang perlu ditegakkan, tetapi juga faktor kesejahteraan bagi orang
banyak sebagaimana dikehendaki sila kelima Pancasila, yaitu Keadilan
bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Jadi demokrasi Indonesia bukan hanya demokrasi politik, tetapi juga demokrasi ekonomi dan demokrasi sosial. Bahkan sesuai dengan Tujuan Bangsa dapat dikatakan bahwa demokrasi Indonesia adalah demokrasi kesejahteraan dan kebahagiaan
dan bukan demokrasi kekuasaan seperti di Barat. Hal itu kemudian
berakibat bahwa pembentukan partai-partai politik yang juga dilakukan
dalam demokrasi Indonesia, mengarah pada perwujudan kehidupan sejahtera
bangsa Karena demokrasi Indonesia adalah demokrasi kesejahteraan, maka
wahana pelaksanaan demokrasi Indonesia tidak hanya partai politik.
Banyak anggota masyarakat mengutamakan perannya dalam masyarakat sebagai
karyawan atau menjalankan fungsi masyarakat tertentu untuk membangun
kesejahteraan, bukan sebagai politikus. Mereka tidak berminat turut
serta dalam partai politik. Karena kepentingan bangsa juga meliputi
mereka, maka selayaknya mereka ikut pula dalam proses demokrasi,
termasuk demokrasi politik. Oleh sebab itu di samping peran partai
politik ada peran Golongan Fungsional atau Golongan Karya (Golkar).
Demikian pula Indonesia adalah satu negara yang luas
wilayahnya dan terbagi dalam banyak Daerah dan banyak Etnik yang
semuanya termasuk dalam Keluarga Bangsa Indonesia. Oleh sebab itu di
samping peran partai politik dan golkar, harus diperhatikan faktor
Keterwakilan setiap Daerah dan Etnik dalam mengatur dan mengurus bangsa
Indonesia sebagai satu Keluarga. Maka ada Utusan Daerah yang
mewakili daerahnya dan etniknya masing-masing dalam menentukan jalannya
Bahtera Indonesia. Dengan begitu jelas sekali bahwa Sistem Politik atau
Demokrasi Pancasila mengutamakan keterwakilan, sebagaimana tertera dalam
Sila 4 Pancasila, yaitu Kerakyatan dalam hikmah kebijaksanaan
Permusyawaratan-Perwakilan. Sedangkan demokrasi Barat hanya mementingkan
keterpilihan warga negara untuk berpartisipasi dalam demokrasi.
Sebagaimana prinsip Perbedaan dalam Kesatuan,
Kesatuan dalam Perbedaan menjamin setiap bagian untuk mengejar yang
terbaik, maka Daerah yang banyak jumlahnya dan aneka ragam sifatnya
perlu memperoleh kesempatan mengurus dirinya sesuai pandangannya, tetapi
tanpa mengabaikan kepentingan seluruh bangsa dan NKRI. Otonomi Daerah harus menjadi bagian penting dari demokrasi Indonesia dan mempunyai peran luas bagi pencapaian Tujuan Bangsa.
Akan tetapi di samping ada perbedaan antara Demokrasi
berdasarkan Pancasila dan Demokrasi Barat ada pula persamaannya. Oleh
karena Demokrasi di dunia adalah perkembangan politik modern yang
dimulai di dunia Barat, maka umumnya lembaga-lembaga demokrasi yang
telah dikembangkan Barat digunakan dan dikembangkan bagian dunia
lainnya. Istilah-istilah Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif digunakan
secara umum dengan diterjemahkan ke bahasa bangsa yang menggunakannya.
Lembaga Perwakilan Rakyat diadakan pula dalam
Demokrasi berdasarkan Pancasila dengan istilah Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) . Untuk Eksekutif
digunakan kata Presiden sebagai Kepala Negara, karena bangsa Indonesia
tidak membangun kerajaan atau kekaisaran , melainkan negara berbentuk
Republik. Demikian pula Menteri sebagai pembantu Presiden. Juga dibentuk
Partai-Partai Politik sebagai organisasi warga negara berkumpul untuk
mengedepankan aspirasinya. Diadakan Pemilihan Umum di mana Rakyat
memilih wakil-wakilnya untuk duduk dalam Lembaga Perwakilan Rakyat.
Dengan begitu terjadi perbedaan antara demokrasi
berdasarkan Pancasila dan demokrasi Barat karena ada perbedaan
prinsipiil dalam pandangan hidup dan budaya bangsa. Akan tetapi ada
persamaan yang bersangkutan dengan bangunan kelembagaan.
Berdasarkan prinsip-prinsip yang berlaku bagi
pelaksanaan demokrasi yang dilandasi Pancasila, maka telah disusun
Undang-Undang Dasar bagi Negara Republik Indonesia. Hal itulah yang
dilakukan para Pendiri Negara pada 18 Agustus 1945.Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) merupakan dasar
untuk mengatur sistem pemerintahan dalam rangka demokrasi Indonesia.
Yang dimaksud adalah UUD 1945 yang asli dan belum dirobah dengan 4
Amandemen tahun 2002. Sebab setelah ada 4 Amandemen itu hakikatnya UUD
1945 telah berubah jiwanya dari Pancasila ke individualis-liberalis.
Jadi tidak cocok dengan keperluan kita. Sebab itu harus kita kembalikan
Undang-Undang Dasar 1945 kepada kondisinya yang asli agar kehidupan
bangsa Indonesia berjalan sesuai dengan Pancasila Dasar Negara RI.
Untuk mengembalikan UUD 1945 ke aslinya ada 2
alternatif jalan. Yang pertama adalah mengembalikan UUD 1945 yang asli
sebagai UUD yang sah. Ini dapat dilakukan melalui berbagai kemungkinan,
seperti didekritkan oleh Presiden RI, melalui keputusan DPR minta MPR
bersidang atau melalui Referendum.
Yang kedua adalah melalui proses pengkajian kembali
UUD 1945 yang telah di-amandemen. Pengkajian ini dilakukan tim yang
diprakarsai dan dipimpin pimpinan MPR. Karena posisi dan fungsi MPR
telah sangat dirugikan oleh UUD 1945 yang di-amandemen maka ada
kemungkinan besar pimpinan MPR bersedia melakukannya. Pegkajian itu
harus menghasilkan UUD yang sesuai dengan UUD 1945 asli, meskipun tidak
mustahil dengan tambahan untuk penyempurnaannya.
Jalan pertama, terutama melalui satu dekrit Presiden
RI, adalah cara paling cepat. Akan tetapi secara politik dipertanyakan
apakah Presiden RI bersedia melakukannya, apalagi sekarang. Jalan DPR
akan amat sukar berhasil karena akan ditentang banyak anggota DPR yang
diuntungkan oleh keadaan UUD 1945 setelah di-amandemen. Sedangkan
melalui referendum juga memerlukan persetujuan DPR yang amat besar
kemungkinan menolak.
Jadi harus ditempuh jalan kedua, yaitu melalui
pengkajian yang dilakukan oleh satu tim yang diprakarsai pimpinan MPR
sekarang. Ini satu proses lama tapi dapat mencapai tujuan yang
diinginkan. Sebab melalui pengkajian kembali dapat dihilangkan semua
akibat buruk dari amandemen, yaitu yang membuat Batang Tubuh UUD
bertentangan dengan Pembukaannya sendiri. Selain itu dapat dilakukan
penyempurnaan UUD 1945, kalau dianggap perlu, dengan mengadakan
penambahan. Akan tetapi tidak dalam bentuk amandemen melainkan sebagai addendum UUD 1945. Juga
Penjelasan UUD harus dikembalikan, karena UUD tanpa Penjelasan kurang
menjamin adanya pemahaman yang benar dari isi UUD itu. Dengan semangat
yang kuat untuk mempunyai kembali UUD 1945 sesuai dengan Pancasila kita
harapkan pengkajian ini dapat dilakukan secepat dan setepat mungkin.
Dalam pengkajian itu penting sekali ditegakkan
kembali fungsi dan peran Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai
pelaksana Kedaulatan Rakyat. Fungsi dan peran MPR ini telah ditiadakan
oleh amandemen 2002 dan MPR sekarang hanya merupakan lembaga yang
menghimpun keberadaan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan
Daerah (DPD). Yang akhir ini adalah satu lembaga yang tidak terdapat
dalam UUD 1945 yang asli. Mungkin badan itu dibentuk karena para
pemrakarsa amandemen diilhami badan perwakilan di AS yang namanya Senate yang bersama-sama House of Representatives membentuk Congress. Akan tetapi MPR di sistem politik Indonesia jauh berbeda fungsi dan perannya dari Congress di AS.
Sebagai Penjelmaan Rakyat, MPR memegang kekuasaan
tertinggi di NKRI. Anggota MPR terdiri atas warga negara yang dipilih
dalam Pemilihan Umum, wakil Golongan yang ditentukan oleh Organisasi
Golongan Karya dan utusan Daerah yang ditetapkan oleh Gubernur Provinsi
bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat I.
MPR menetapkan Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
yang harus menjadi pedoman segala kegiatan Negara dan Bangsa untuk masa
mendatang. Ia mengangkat Presiden RI untuk memegang kekuasaan
pemerintahan dan melaksanakan GBHN. Serta menetapkan Wakil Presiden RI
untuk membantu Presiden RI. Pemilihan Presiden RI dan Wakil Presiden RI
langsung oleh Rakyat sebagaimana sekarang terjadi menambah legitimacy Presiden dan Wakil Presiden. Akan tetapi tidak sesuai dengan ketentuan bahwa MPR memegang kekuasaan tertinggi di NKRI.
Di samping Presiden RI ada Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) yang sama tinggi kedudukannya dengan Presiden. Presiden sebagai
pemegang kekuasaan membentuk undang-undang selalu memerlukan persetujuan
DPR, termasuk undang-undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN). Dengan jalan itu DPR menjalankan kontrol atau pengawasan
terhadap pelaksanaan fungsi Presiden. Karena pengawasan ini erat
hubungannya dengan pelaksanaan GBHN yang berasal dari MPR, maka DPR
melakukan pengawasan atas nama MPR. Sebab itu anggota DPR berasal dari
MPR yang menetapkan separuh dari jumlah anggotanya menjadi anggota DPR.
Dengan begitu dalam DPR perlu ada anggota yang berasal dari Parpol,
wakil Golongan maupun Utusan Daerah karena semua mereka sebagai bagian
dari Penjelmaan Rakyat berkepentingan atas pelaksanaan pemerintahan yang
baik.
Presiden RI didampingi Dewan Pertimbangan Agung (DPA)
yang pimpinan dan anggotanya ditetapkan melalui undang-undang. DPA
memberikan advis kepada Presiden, diminta atau tidak diminta. Selain itu
Presiden RI didampingi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang juga
dibentuk berdasarkan undang-undang. BPK berfungsi untuk memeriksa
tanggungjawab keuangan negara dan menyampaikan hasil pemeriksaannya
kepada DPR.
Presiden RI juga didampingi Mahkamah Agung (MA) yang
dibentuk menurut undang-undang. MA memimpin seluruh badan kehakiman NKRI
yang dibentuk menurut undang-undang.
Untuk menjalankan pemerintahan Presiden RI mengangkat
Menteri-Menteri yang memimpin departemen pemerintahan atau memimpin
badan non-departemen. Presiden RI, Wakil Presiden RI beserta semua
Menteri merupakan Pemerintah RI. Di dalam menjalankan fungsi
pemerintahan Presiden bertanggungjawab kepada MPR, sedangkan para
Menteri bertanggungjawab kepada Presiden RI.
Indonesia terdiri dari Daerah-Daerah Tingkat Satu
atau Provinsi yang ditetapkan dengan undang-undang. Demikian pula Daerah
Tingkat Satu terdiri dari Daerah Tingkat II atau Kabupaten dan Kota
yang juga dibentuk dengan undang-undang. Untuk memberikan otonomi yang
luas kepada Daerah maka semua Daerah Tingkat Dua adalah daerah otonom.
Sedangkan Daerah Tingkat Satu memegang kekuasaan pemerintahan yang
mewakili Pusat dalam memimpin Daerah Tingkat Dua sebagai bagian integral
NKRI. Atas dasar itu Kepala Daerah Tingkat Dua, yaitu Bupati dan Wali
Kota, dipilih langsung oleh Rakyat, kecuali pimpinan Kota yang berada di
Daerah Tingkat Satu Jakarta Raya. Setiap Daerah Tingkat Dua mempunyai
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Tk Dua yang anggotanya dipilih oleh
Rakyat untuk mereka yang berasal dari partai politik; selain itu ada
anggota yang ditetapkan oleh Sekber Golkar. DPRD II membantu Bupati /
Wali Kota dalam menjalankan pemerintahan di daerahnya. Dalam menjalankan
pekerjaannya Bupati / Wali Kota bertanggungjawab kepada Gubernur /
Kepala Daerah Tingkat Satu. Kepala Daerah Tingkat Satu, yaitu Gubernur,
ditetapkan oleh Presiden RI berdasarkan usul yang diajukan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Tingkat Satu . Gubernur merupakan perpanjangan
Pemerintah Pusat untuk mengatur jalannya pemerintahan di Daerah Tk I
sesuai dengan ketentuan otonomi daerah. Dalam pekerjaannya Gubernur
bertanggungjawab kepada Presiden RI. Gubernur dibantu Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah Tingkat Satu yang anggotanya dipilih oleh Rakyat dan
ditetapkan oleh Sekber Golkar. Gubernur bersama DPRD I menetapkan Utusan
Daerah untuk duduk dalam MPR.
Masyarakat membentuk Partai-partai politik (Parpol)
untuk memperjuangkan aspirasinya. Anggota Parpol dalam Pemilihan Umum
dipilih oleh Rakyat untuk menjadi wakil rakyat dalam MPR dan juga untuk
menjadi wakil rakyat dalam DPRD Tingkat I dan Tingkat II. Selain itu
dibentuk Organisasi Golongan Karya yang menghimpun para warga negara
yang memperjuangkan aspirasinya melalui pekerjaan fungsional dalam
masyarakat. Organisasi ini menetapkan wakil golongan untuk duduk dalam
MPR, DPRD Tingkat I dan Tingkat II.
UUD 1945 di samping mengatur Demokrasi Politik juga
mengatur Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Sosial. Dengan begitu terwujud
kehidupan bangsa yang tenteram-damai-produktif dan tidak terganggu oleh
konflik antara golongan kaya dan miskin, antara Pusat dan Daerah, antara
etnik yang berbeda, atau antara umat agama yang beda. Demokrasi baru
dapat dikatakan berjalan baik di Indonesia, kalau baik Demokrasi Politik
maupun Demokrasi Ekonomi dan Demokrasi Sosial menjadi kenyataan.
Memperhatikan hal-hal yang diuraikan di atas tentang
Demokrasi berdasarkan Pancasila atau Demokrasi Indonesia, maka demokrasi
yang sekarang berlaku dan berjalan di Indonesia amat besar
kekurangannya, bahkan banyak aspeknya yang secara mendasar bertentangan
dengan Pancasila. Juga perilaku para pelaku dalam bidang Eksekutif,
Legislatif dan Yudakatif, serta warga masyarakat banyak sekali yang
tidak sesuai dengan Demokrasi berdasarkan Pancasila.
Faktor Manusia dalam Demokrasi Indonesia
Demokrasi Indonesia tidak akan berfungsi dengan baik
kalau hanya didasarkan pada Sistemnya yang benar. Yang tidak kurang
penting, bahkan lebih penting, adalah Manusia yang menjalankan Sistem itu. Ada orang yang mengatakan bahwa yang utama adalah terbentuknya Sistem yang
baik dan tepat, Sebab Sistem yang baik dalam prosesnya akan membentuk
Manusia yang baik dan tepat. Akan tetapi pendapat demikian tidak
memperhatikan kenyataan bahwa Sistem yang baik dan tepat adalah hasil
Manusia, bukan turun begitu saja dari langit. Agama pun diturunkan ke
Bumi oleh Tuhan melalui peran Nabi dan Rasul. Kemudian sebelum Sistem
itu menghasilkan Manusia yang tepat harus ada proses dalam berfungsinya
Sistem tersebut. Proses ini pula harus dilakukan Manusia. Jadi jelas
sekali bahwa demokrasi Indonesia yang baik tidak cukup dibangun dengan
Sistem yang baik dan tepat, tetapi harus disertai keberadaan Manusia
Indonesia yang baik dan tepat.
Di sinilah bangsa Indonesia menghadapi pekerjaan
rumah yang berat dan luas. Sebab dalam kenyataan faktor Manusia telah
mengalami perkembangan yang demikian luas sehingga kondisinya sekarang
sangat kurang sesuai dengan keperluan untuk menjalankan demokrasi
Indonesia dengan baik.
Pertama, adalah pengaruh dari pandangan hidup dan
cara berpikir yang berbeda, bertentangan dan berlainan dengan Pancasila.
Karena bangsa Indonesia dan pimpinannya sejak 1945 telah mengabaikan
pentingnya Pembangunan Bangsa (nation and character building) untuk
dilakukan secara nyata dan tidak hanya dibicarakan saja, maka Pancasila
yang sejak semula telah ditetapkan sebagai Dasar dan Filsafah Negara
tidak pernah secara konsisten dijadikan kenyataan di Bumi da Indonesia.
Malahan sebaliknya aspek-aspek penting yang tadinya masih ada dalam
masyarakat, seperti sikap hidup Gotong Royong, makin hilang.
Sebab telah berkembang dinamika dunia Barat yang amat
agressif untuk menguasai dunia. Kalau hal itu sebelumnya dilakukan
melalui kekuasaan imperialisme dan kolonialisme, sejak abad ke 20 juga
dan terutama dilakukan dengan meluaskan sikap hidup dan cara berpikir
Barat ke seluruh umat manusia. Dengan berbagai jalan
individualisme-liberalisme disebarkan, khususnya melalui pendidikan,
sehingga makin banyak manusia Indonesia terpengaruh untuk menerima
pandangan hidup itu dan menganggapnya paling baik. Hal ini diperkuat
oleh sifat Manusia Indonesia yang senang menganggap segala sesuatu dari
luar negeri, apalagi dari Barat yang secara materiil telah maju, lebih
baik dari apa yang ada di Indonesia. Ketika pimpinan dan masyarakat di
Indonesia melihat dampak usaha Barat itu maka sikapnya terutama reaktif
belaka tanpa ada usaha untuk menjalankan dan memperkuat usaha menjadikan
Pancasila kenyataan di Indonesia. Pancasila tinggal sebagai semboyan
belaka, bahkan banyak pemimpin Indonesia bersikap dan bertindak
bertentangan dengan Pancasila. Akibatnya dapat dilihat dengan jelas
ketika terjadi Reformasi pada tahun 1998.
Memang Indonesia memerlukan satu reformasi, mungkin
lebih tepat istilah restorasi, yaitu usaha untuk memperbaiki keadaan
untuk menjadikan Pancasila kenyataan yang mantap di Indonesia. Akan
tetapi yang terjadi adalah justru sebaliknya, Reformasi menjadi jalan
untuk mengembangkan individualisme-liberalisme menggantikan peran
Pancasila sebagai Dasar Negara. Hal itu nyata sekali dalam berhasilnya
UUD 1945 di-amandemen pada tahun 2002. Keberhasilan itu tentu akan
diikuti langkah-langkah berikut agar akhirnya Pancasila tidak ada lagi
di Indonesia. Yang jelas nampak terjadi adalah perkembangan ekonomi yang
makin kuat mengikuti dasar individualisme-liberalisme. Proses ini
dilakukan dan dipimpin oleh manusia Indonesia sendiri, dengan bantuan
pihak asing yang berkepentingan. Itu berarti bahwa makin banyak manusia
Indonesia yang setuju, atau sekurangnya tidak keberatan, kehidupan di
Indonesia dilandasi individualisme-liberalisme. Namun sebaliknya dan
anehnya pula, mereka tidak berani atau sanggup menyatakan pendapat
mereka itu secara terbuka, apalagi terang-terangan memperjuangkan
pandangan mereka untuk mengganti Pancasila sebagai Dasar Negara RI. Hal
ini lebih banyak disebabkan oleh sikap munafik dari pada merupakan
taktik perjuangan.
Keadaan yang sudah cukup mengacaukan demokrasi
Indonesia itu ditambah oleh sikap dan usaha agresif kalangan tertentu di
Timur Tengah yang melawan dunia Barat yang hendak mendominasi dunia.
Usaha kalangan itu diberi landasan agama Islam dan dilakukan secara
fisik untuk melawan Amerika Serikat dan sekutunya di seluruh dunia,
termasuk di Indonesia. Memang Indonesia sebagai bangsa dengan umat Islam
terbesar di dunia merupakan sasaran masuk akal bagi usaha kalangan
Timur Tengah itu. Karena lemahnya Pancasila, maka usaha itu makin
berhasil meluaskan dukungannya di Indonesia. Tujuan kalangan itu untuk
mendirikan Negara Islam Indonesia jelas mengancam Negara Kesatuan
Republik Indonesia dan Pancasila. Caranya mencapai tujuan, antara lain
dengan terorisme, menimbulkan masalah yang tidak sederhana bagi bangsa
Indonesia dan berkembangnya demokrasi di Indonesia. Usaha dari luar ini
juga berusaha mendapat dukungan luas dari manusia Indonesia.
Kedua, kelemahan faktor Manusia ditimbulkan juga oleh
sifat manja-mental. Manusia Indonesia pada dasarnya mempunyai
kecerdasan yang tinggi, hal mana dibuktikan oleh banyak prestasi Manusia
Indonesia kalau mengikuti pendidikan sekolah di dalam dan luar negeri.
Akan tetapi karena ada sifat manja-mental maka ada kecenderungan
kurangnya kemampuan atau kesediaan untuk mengaplikasikan pengetahuan
yang dimiliki. Hal itu tampak jelas sekali dalam masyarakat, baik di
lingkungan Eksekutif termasuk Birokrasi, Legislatif maupun Yudikatif.
Bahkan juga di lingkungan Swasta dan bisnis yang seharusnya
mengembangkan daya saing tinggi. Ada sikap Buat apa Capek, hal mana didukung kecakapan manusia itu mencari alasan pembenaran sikapnya.
Itu sebabnya kita sering mendengar pemimpin atau
calon pemimpin pemerintahan memberikan janji, tetapi jarang sekali janji
itu menjadi kenyataan. Bahkan ada seorang mantan menteri yang secara
terang-terangan mengatakan kepada orang yang menagih janjinya : Kamu toh
sudah saya beri janji, itu sudah banyak ! Dari yang paling atas di
negara ini hingga ke paling bawah manusia suka sekali berwacana tanpa diikuti realisasinya yang kongkrit.
Mana mungkin terwujud demokrasi ekonomi kalau para
pemimpin pemerintahan hanya mewacanakan kesejahteraan rakyat tanpa
realisasinya. Masih ditambah lagi oleh sikap dan cara bekerja manusia di
Birokrasi. Kalau pun Presiden dan menteri mau menetapkan usaha yang
meningkatkan ksejahteraan rakyat, tidak jarang usaha itu berhasil nihil
atau minimal karena manusia dalam Birokrasi tidak menjalankan kerjanya
dengan semestinya. Bukannya mereka itu tidak tahu apa yang harus mereka
kerjakan ! Akan tetapi mereka berpikir, untuk apa harus kerja keras. Hal
itu juga berpengaruh pada demokrasi politik, ketika para anggota DPR
dan DPRD tidak malu-malu absen tidak menghadiri sidang. Kalau menghadiri
sidang pun belum tentu mau bersikap giat mewujudkan apa yang mereka
ketahui, bahkan apa yang mereka yakini, yang harus mereka lakukan
sebagai wakil kepentingan Rakyat.
Ketiga, kurang daya tahan masyarakat Indonesia
menghadapi pengaruh Uang dan Benda. Memang materialisme makin meluas dan
menguat di dunia dan mau tidak mau juga masuk Indonesia. Kalau
masyarakat kurang mampu menghasilkan daya tahan terhadap dampak negatif
materialisme, maka terjadi perkembangan yang amat merugikan. Sebab
segala sesuatu hanya diukur dengan Uang dan Benda. Segala aspek
kehidupan masyarakat dikuasai Uang dan Benda serta mereka yang menguasai
Uang dan Benda.
Dan itulah yang terjadi di Indonesia dengan amat
kuat. Dalam kehidupan politik setiap pemilihan tidak pernah lepas dari
jumlah uang yang dikumpulkan calon yang ingin dipilih. Pemilihan Bupati
dan bahkan anggota DPRD ditentukan oleh besarnya jumlah uang yang dapat
dikumpulkannya, lebih besar lagi jumlah itu untuk calon Gubernur dan
pasti makin besar untuk calon Presiden dan Wakil Presiden. Hal inilah
yang membuat Korupsi hal yang mudah terjadi di Indonesia. Etika dan
Moralitas makin sukar ditemukan dalam kehidupan, khususnya dalam dunia
politik, kecuali dalam bentuk wacana dan pidato.
Sebenarnya masyarakat dapat menimbulkan daya tahan
untuk tidak dikuasai oleh Uang dan Benda. Sebagai contoh di Jepang
adalah faktor Budaya Malu dan kuatnya Solidaritas Kelompok. Sehingga
dengan begitu kuasa Uang dan Benda dapat diminimalkan. Indonesia yang
selalu membanggakan perkembangan kuat dari Agama, baik Islam maupun
lainnya, sebenarnya juga dapat membangun Daya Tahan itu Sebab ajaran
Agama jelas sekali tidak membolehkan manusia dikuasai Uang dan Benda.
Namun nampaknya di Indonesia perkembangan Agama dilihat sebagai hal
terpisah dari keperluan Uang dan Benda. Sebab itu tidak mengherankan
adanya pemimpin agama dan orang-orang yang menunjukkan kehidupan yang
kuat agama, ternyata korup atau suka sekali uang.
Tiga hal itu, yaitu kekurangmampuan menghadapi
perluasan pengaruh cara berpikir asing, sikap manja-mental dan
kurangkemampuan menghadapi materialisme , merupakan tantangan utama bagi
terwujudnya demokrasi Indonesia yang kita perlukan.
Kepemimpinan dan Pendidikan yang Tepat
Usaha utama untuk mengatasi tantangan itu adalah Kepemimpinan dan Pendidikan.
Di samping itu sangat penting adanya manusia
Indonesia yang tidak terlalu terpengaruh tiga faktor penghambat tadi
sehingga dapat dinilai sebagai orang yang tidak lemah . Biasanya dalam
segala hal, termasuk kecenderungan manusia yang lemah di Indonesia,
dapat terjadi Perkecualian. Pasti masih ada manusia Indonesia
yang cukup tegar menghadapi pengaruh usaha asing, tidak termasuk yang
manja-mental dan mampu menghadapi Uang dan Benda secara proporsional.
Melalui Manusia Indonesia yang merupakan Perkecualian itu kita harus
menghasilkan Kepemimpinan dan Pendidikan yang efektif bagi kepentingan
Indonesia dan Pancasila.Perkembangan Indonesia di masa depan sangat
ditentukan oleh terwujudnya Kepemimpinan Nasional yang orang-orangnya
termasuk perkecualian itu, orang-orang yang tidak tergolong lemah.
Terutama diperlukan orang-orang yang yakin benar kepada Pancasila
sebagai Dasar Negara dan Pandangan Hidup Bangsa Indonesia.
Dengan Kepemimpinan Nasional yang bersikap demikian,
dapat diambil langkah-langkah untuk menjadikan Pancasila kenyataan di
Indonesia. Itu dibarengi usaha memperkuat Pancasila sebagai keyakinan di
lingkungan luas bangsa, termasuk di Daerah-Daerah, sehingga dapat
menghadapi usaha agressif dari pihak penentang Pancasila secara efektif.
Selain itu dapat diusahakan agar sifat manja-mental makin berkurang dan
manusia Indonesia tidak kalah giatnya dalam kerja dengan manusia Asia
lainnya. Demikian pula mampu melakukan usaha untuk makin mengurangi
dampak negatif Benda dan Uang serta makin habisnya Korupsi di Indonesia.
Usaha itu tidak lepas dari kemampuan Kepemimpinan
Nasional untuk membangun dukungan di semua Daerah di Indonesia dan di
segala lapisan masyarakat. Usaha ini sangat tergantung pada kemampuan
untuk menemukan orang-orang yang termasuk Perkecualian di Pusat dan
Daerah dan berbagai lingkungan Kerja, khususnya untuk menjadi critical mass dalam banyak perubahan yang harus dilakukan .
Namun usaha fundamental yang harus kita lakukan
adalah Pendidikan. Sebab hanya melalui pendidikan yang tepat dapat kita
bangun landasan untuk perkembangan manusia Indonesia di masa depan. Kita
harus membangun manusia yang lebih cerdas dan pandai menguasai ilmu
pengetahuan dan teknologi yang makin maju. Akan tetapi tidak kalah
pentingnya, bahkan lebih penting, adalah pembentukan karakter
yang kuat pada manusia Indonesia. Dengan begitu pengetahuan dan
kecakapan akan diterapkan dan diaplikasikan untuk kemajuan bangsa. Juga
karakter yang kuat itu penting untuk membangun keyakinan pada Pancasila
sebagai Dasar Negara. Akan dapat dibangun pula pemahaman bahwa moralitas
sangat penting dan perlu dipunyai untuk menghadapi Materialisme yang
makin agressif di mana-mana. Nasionalisme yang tumbuh kuat memungkinkan
terwujudnya sikap yang melihat faktor luar negeri secara proporsional
dan bermanfaat bagi perkembangan bangsa. Tidak menolak faktor asing dan
mengambil yang bermanfaat bagi bangsa Indonesia, tetapi mampu menolak
pengaruh dan kecenderungan luar negeri yang tidak sesuai dengan
keperluan bangsa Indonesia.
Pendidikan karakter yang baik membangun manusia
Indonesia sejak remaja untuk pandai hidup bersama secara harmonis, hidup
berdisiplin, toleran terhadap orang lain disertai sopan santun sesuai
adat istiadat bangsa. Akan tetapi juga membangun manusia Indonesia untuk
selalu mengejar yang terbaik, berorientasi pada pencapaian prestasi (achievement oriented)
, yang membuat dirinya dan bangsanya mandiri serta menjadikan segala
keunggulan sumberdaya alam Indonesia memberikan manfaat bagi bangsanya.
Ini semua memerlukan pelaksanaan pendidikan bermutu yang dilakukan melalui pendidikan dalam Keluarga, pendidikan Sekolah dan pendidikan Masyarakat.
Mereka yang merupakan Kepemimpinan nasional harus
mampu menjadi tauladan bagi Keluarga-Keluarga Indonesia di mana-mana dan
mengajak para pemimpin bangsa lainnya hal itu dalam melakukan
pendidikan di keluarga masing-masing. Kepemimpinan nasional juga harus
memilih orang-orang yang tepat untuk memimpin dan menyelenggarakan
pendidikan sekolah yang amat luas itu dan menyediakan sumberdaya dan
dana memadai untuk menjadikan pendidikan sekolah sukses dan keberhasilan
nasional. Pendidikan Sekolah yang bermutu dilakukan di Pusat maupun
Daerah dan harus mencapai seluruh rakyat secara adil dan merata.
Terbentang dari Taman Kanak-Kanak hingga Pendidikan Tinggi serta
berbagai kegiatan pendidikan yang memperkuat pendidikan sekolah formal.
Kepemimpinan nasional harus merangsang terwujudnya pendidikan dalam
masyarakat yang besar manfaatnya bagi masyarakat dan bangsa.
Melalui pendidikan ini akan berkembang Bangsa dan
Manusia Indonesia yang dapat menjadikan Pancasila kenyataan dan kekuatan
yang berguna tidak saja bagi Indonesia, tetapi juga bagi Dunia dan Umat
manusia. Termasuk di dalamnya adalah terwujudnya Demokrasi Indonesia
yang kita perlukan.
Pendidikan harus menjadi Strategi Utama bangsa
Indonesia dalam mewujudkan Tujuan Nasional. Memang pelaksanaannya sukar
mencapai hasil dalam waktu singkat dan memerlukan satu proses yang
mungkin bertahun-tahun. Sebab itu diperlukan sikap bangsa yang konsisten
dan ulet mengejar tujuan, terutama para pemimpinnya di semua lapisan
dan aspek kehidupan, baik di Pusat maupun Daerah.
Dengan faktor Manusia yang makin kondusif maka akan
terwujud kesesuaian antara Sistem dan Manusia sehingga Demokrasi
Indonesia atau Demokrasi berlandaskan Pancasila akan berkembang dan
makin kuat.
Sumber :http://sayidiman.suryohadiprojo.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar