Menurut Pengamat Ekonomi Faisal Basri ,
Agus Marto punya kemampuan untuk menjadi Gubernur BI. Namun perlu di ingat, Agus
Marto pernah ditolak oleh DPR saat dicalonkan menjadi Gubernur BI pada
2008 lalu.
Agus Marto merupakan lulusan
Universitas Indonesia (UI). Menurut Faisal, Agus Marto sebenarnya lebih
cocok untuk memimpin OJK dibanding menjadi Gubernur BI, karena latar
belakang Agus Marto yang lama berkecimpung di dunia perbankan.
“Pak Agus itu orang bank dan harusnya Pak
SBY calonkan ke OJK itu, karena pengalaman perbankan dia. Karena
keilmuan dia penting sehingga Gubernur (BI) harus punya intuisi yang
kuat hadapi perubahan yang cepat.
Agus Marto memang lama berkecimpung di
dunia perbankan nasional. Sebelum ditunjuk sebagai Menteri Keuangan
menggantikan Sri Mulyani pada 2010, Agus merupakan Direktur Utama Bank
Mandiri sejak 2005. Pria kelahiran Amsterdam 24 Januari 1956 ini juga
pernah menjabat sebagai Direktur Utama Bank Permata selama tiga tahun.
Dihubungi terpisah, Pengamat Ekonomi
Dradjad Wibowo mengatakan, kapasitas Agus Marto sebagai bankir memang
tak perlu diragukan dan sudah terbukti saat mempimpin Bank Mandiri.
“Tapi inilah ironisnya. Agus Marto yang
bankir, sebagai Menkeu mendorong dipretelinya kewenangan BI terhadap
perbankan, dan sekarang dia harus memimpin BI. Jadi kapasitas terbaik
Agus Marto sebagai bankir kurang berguna di BI, karena nanti BI hanya
melakukan pengawasan makro. Agus Marto justru harus belajar menjaga
moneter. Namun di pasar, Gubernur BI sangat dihormati bahkan tidak
jarang lebih bergigi dari Menkeu,” papar Dradjad.
Dradjad mengatakan, Agus Marto tetap
punya integritas dan kapasitas menjadi Gubernur BI, meskipun bukan
kapasitas terbaiknya yang akan dipakai. “Apakah yang bersangkutan punya
akseptabilitas di DPR dan di pasar, biarkan hal ini terjawab dengan
berjalannya waktu. Yang jelas, ini melanjutkan kecenderungan pemerintah
yang tidak percaya terhadap kalangan internal BI menjadi pucuk pimpinan
di sana,” cetus Dradjad.
Adapun yang menjadi tantangan BI di tahun
ini ujar Dradjad adalah, mengamankan risiko makro yang meningkat cukup
signifikan akibat ekspektasi defisit perdagangan. Kemudian yang paling
krusial adalah tekanan terhadap nilai tukar rupiah dan dorongan kenaikan
bunga kredit dalam semester I-2013.
“Kedua, mengawal masa transisi peralihan
kewenangan sebagai bos perbankan dari BI ke OJK. Ketiga, menjaga BI
secara kelembagaan, SDM, hukum dan politik agar mampu melewati masa
sulit 2013-2014,” tegas Dradjad.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar